Mohon tunggu...
Slamet Arsa Wijaya
Slamet Arsa Wijaya Mohon Tunggu... Guru - Tak neko-neko dan semangat. Sangat menyukai puisi dan karya sastra lainnya. Kegiatan lain membaca dan menulis, nonton wayang kulit, main gamelan dan menyukai tembang-tembang tradisi, khususnya tembang Jawa.

Sedang berlatih mengaplikasikan kebenaran yang benar, ingin lepas juga dari ketergantungan kamuflase dan kecantikan berlipstik yang mendominasi di lingkungan kita. Sisi lainnya, ingin jadi diri sendiri dan wajib mencintai tanah air sepenuh hati dan jiwa.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Janganlah Gendong Sengsara Ratapi Penyesalan

30 September 2020   22:16 Diperbarui: 30 September 2020   22:25 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sahabat, bila senja datang lebih awal, kejarlah cahaya di antara lembayung. Biar tetap benderang di sekeliling sukmawi. Kesejatian jiwa sahaja mendung pun tak membelenggu pikiran. Ketika rembulan belum acuhkan dan bintang-bintang masih bertaburan bersholawat, buka gerbang dan buang keangkuhan itu. Lalu tangkap sinarnya tuk rambati relung-relung agar tak beku oleh dinginnya kepedulian.

Tak keliru sehatkan kemauan diri dan haus beragam pengetahuan. Selagi mampu menghayati di antara abjad dan memaknai ayat-ayatnya.  Niscaya bahagia dan kedamaian bukan perolehan semu. Dunia akhirat ceria bercahayakan ilmu penitik keadilan prinsip. 

Dalam sebening kaca kan perlihatkan segemerlap apa indah sanubari. Anugerah akan  dicantumkan di dinding kalbu tanpa banyak khilaf dan noda-noda dosa. Tapi bersyukurlah jika prerogatifnya tetap kita dapatkan, meski berjamin ketakwaan tanpa khianat. Andai tobatan nasuha mantap dilaksanakan pintu syurga kelak mempersilahkan.

Di sana bebas nikmati keserbaadaan dan melewati kenidahan paripurna. Pun segala kemewahan diberikan tanpa bandrol. Tapi jujur di kasat mata nampak sepi para perindu merayu mendayu dapatkan pahala. Selebihnya mengeroposi perilaku. Bahkan sampah kebohongan dan kemunafikan berserakkan kotori bumi yang dambakan kesalehan.

Sekat-sekat kolbu seolah dihimpitkan. Pantaslah jika tetap kerontang tak dapat tetesan ruhani. Meski hidran religius lancarkan wejangan untuk suburkan iman. Petuah-petuah jernih dalam lebatnya hujan tepat musim tak sepi mengalunkan berjuta indah impian.

Menara-menara juga tak sepi kabarkan tempat gemerlap kenikmatan. Sayang, yang tampak dengki berserakkan hingga sumbat telinga tak mampu seruan kebaikkan. Masing-masing asyik di kubang keacuhan tanpa hirau. Kecuali tiba kegelapan saat raga kepayahan dan tersesat karena tak paham rambu, dan gendong sengsara meratapi penyesalan. 

*****

Bekasi, 21/03/20

##Slamet Arsa Wijaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun