Pelangi bagai pudar tadi pagi saat selami rasa mengulang mimpi. Senyum manis berganti air mata meleleh basahi lekuk pipi. Bunga penghias satu, satu rontok sangat dini, hati pun masam kehilangan seri. Berupayalah terus agar daun yang ada tetap segar menghijau. Bawalah ceria jangan mudah tersengat oleh keki atau konflik dalam diri.
Bukan seolah angin kehilangan semilir saat pelan membelai ragawi, tetapi amarah kita datang lebih awal oleh gejolak batin. Lepaslah perlahan buluh-buluh kerinduan dari putiknya. Agar tetap bisa nikmati elok mekarnya bunga-bunga. Niscaya akar tetap kuat dan daun-daunnya tidak layu.
Bila patuh ikuti langkah dalam garis, hidup ini damai tanpa ketakutan-ketakutan. Mari tawadu enyahkan pengganggu secara jamaah. Jika prahara ini kendur dan sirna adanya, bebaslah gerak kemali dan sehat. Berbaring di pelepah-pelepah liar manapun asyik, dan dibangunkan oleh aroma semerbak yang nikmat.
Tersaji pilihan antara memetik atau hirup saja wewangi sang mekar. Karena alam ramah, naluri ini terus dipinjami sayap-sayap tuk susuri-ingar bingar kehidupan dalam damai. Yakinlah ini bukan kodrat atau turunnya martabat hingga waktu diputar arah. Bukan pula bencana kemanusiaan, tetapi kita sejenak digetarkan Illahiah tuk jeda dari serakah dan menahan diri dari foya-foya dunia.
Kembalilah ke putaran waktu yang gemulai dan melankolis padankan irama. Tak perlu sentuhan atau berpelukan cukup hati yang merangkul dengan kearifan. Semoga lekas dipamitkan covid sembilan belas. Dunia kembali gairah dan kehangatan. Damailah damai tanpa corona sepanjang tahun.
*****
Bekasi, 30/09/20
##Slamet Arsa Wijaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H