Sejak seminggu terakhir, Hadis (man tasyabbaha biqaumin fahuwa minhum) mulai ramai disuarakan. Bak selebriti, hadis yang terdapat dalam Sunan Abu Dawud, Musnad Ahmad, Mushannaf Abi Syaibah, dan lain-lain ini mulai menghiasi berbagai panggung kemasyarakatan. Naik daun, kata orang kota.Â
Tak tangung-tanggung, mulai yang katanya ustadz hingga orang awam belakangan mulai fasih melafadzkannya. Sambil berorasi dengan tampang meyakinkan, jari mereka menunjuk-nunjuk muka saudaranya. Menurut mereka, memperingati tahun baru (masehi) seperti lazimnya perayaan selama ini hukumnya adalah haram. Bid'ah. Bahkan yang nekat melakukannya bisa jadi kafir. Sesat. Neraka.
Pentas orasi itu masih juga belum selesai. Berbagai musibah di Indonesia yang datang (seakan) silih berganti juga diklaim karena masyarakatnya suka melakukan perbuatan keji dan munkar. Karenanya, moment pergantian tahun yang sebentar lagi akan berlangsung juga masuk dalam daftar tema 'khutbah' mereka. Tak berhenti disitu, papan-papan reklame yang berjejer sepanjang jalan (Bengkalis, Pekanbaru dan sekitarnya) juga tak luput dari aksi mereka.
Jika diamati, narasi yang sedemikian rupa itu ternyata keluar dari lisan para pribadi yang mengusung jargon "Kembali kepada al-Qur'an dan as-Sunnah". Pertanyaanya, apakah mereka lupa bahwa al-Qur'an diturunkan dengan bahasa Arab?. Demikian juga dengan as-Sunnah.
Pertanyaan di atas sangat penting untuk diajukan. Pasalnya, jargon kembali kepada al-Qur'an dan as-Sunnah itu faktanya hanya menjadi jargon yang kosong melompong. Betapa tidak, katanya kembali kepada Qur'an dan Hadis, eeee ternyata yang diorasikan justru terjemahan al-Qur'an versi Kemenag dan terjemahan Hadis yang dibuat (seenaknya) sendiri.Â
Iya kalau kebetulan terjemah itu benar, lha ini justru lebih sering ngawur daripada benarnya. Sekali lagi ini penting. Sebab kembali kepada Qur'an dan Sunnah tanpa belajar bahasa Arab itu berpotensi sesat dan menyesatkan.
Kembali ke hadits tadi, "man tasyabbaha biqaumin fahuwa minhum". Bagi yang belajar bahasa Arab, terjemah hadis ini BUKAN "barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka" seperti yang tertulis pada reklame di atas. Sama sekali bukan. Tulisan Arab di reklamenya ancur lagi. Menyedihkan sekali. Sebab kata "tasyabbaha" dalam terminologi bahasa Arab merupakan Fi'il (kata kerja) yang mendapat imbuhan (afiks) huruf Ta di awal (prefiks) dan Syiddah pada 'Ain Fi'il (infiks) sehingga maknanya akan berbeda dengan kata "syabiha" yang tidak mendapat imbuhan apapun.
Dalam ilmu Sharaf, Imbuhan atau afiks yang ada seperti di atas (Ta'Â dan Syiddah) lazimnya mengandung arti Takalluf yang bermakna bersungguh-sungguh, berdaya upaya, bersusah payah dlsb. Dengan demikian, terjemah yang tepat dari hadis di atas adalah: "siapa yang BERUSAHA SEKUAT TENAGA menyerupai suatu kaum maka ia termasuk diantara mereka." Jelas kan bedanya dengan terjemahan mereka?
Kalau sekedar serupa tanpa niat, apalagi tanpa ada upaya bersungguh-sungguh untuk menyerupai, bahasa Arab-nya harus "Asybaha" bukan "Tasyabbaha". Ini sama seperti kata "Ta'allama" yang bermakna berupaya dengan sungguh-sungguh untuk tahu tentang sesuatu. Kalau sebatas tahu saja ya bukan "Ta'allama" tapi cukup dengan "Alima". Â
Makanya bahasa Arab "belajar" adalah "Ta'allama" sebab pelajar memang wajib untuk bersungguh-sungguh. Ini baru satu sudut pandang Ilmu Sharaf. Belum lagi Nahwu, Balaghah, Mantiq, Ulumul Hadits, Ushul Fiqh dll. Jadi, kalau kurang hobi pusing dan berpikir kritis untuk menemukan kebenaran yang shahih, ya gak perlu akting jadi muballigh. Paham kan, mblooooo
Pesan Imam Syafi'i, kalau kamu tidak mencintai ilmu maka tidak ada kebaikan bagimu.