Di sebuah desa di Jawa Tengah, terdapat seorang penjual sayur bernama Mbok Sari yang terkenal dengan sikapnya yang ramah dan sopan. Setiap pagi, Mbok Sari selalu menyapa pelanggannya dengan penuh hormat menggunakan aksara Jawa di papan tulis kecil yang ditempatkannya di meja dagangannya.Â
Suatu hari, seorang pengunjung dari kota besar, Budi, datang ke pasar desa tersebut. Budi sangat tertarik melihat tulisan-tulisan beraksara Jawa di papan dagangan Mbok Sari. Dengan rasa ingin tahu, Budi bertanya, "Mbok Sari, kenapa Mbok menulis semua ini dengan aksara Jawa? Bukankah banyak orang yang tidak bisa membacanya?
Mbok Sari tersenyum dan menjawab, Nggih, Budi. Sebenarnya, saya ingin melestarikan budaya kita. Meskipun tidak semua orang bisa membaca aksara Jawa, saya berharap tulisan ini bisa mengingatkan kita semua akan pentingnya menjaga warisan budaya.
Budi merasa terkesan dan melanjutkan, Lalu, bagaimana jika ada pelanggan yang tidak bisa membaca aksara Jawa dan tidak mengerti pesan yang Mbok sampaikan?
Mbok Sari menjawab dengan bijaksana, Kalau begitu, saya akan menjelaskan pesan tersebut kepada mereka secara lisan. Yang penting, saya ingin setiap orang merasa dihargai dan dikenali.
Budi terinspirasi oleh sikap Mbok Sari dan mulai merenungkan bagaimana hal-hal kecil seperti tulisan aksara Jawa dapat membuat perbedaan besar dalam masyarakat. Ia memutuskan untuk membeli beberapa sayur dari Mbok Sari dan meresapi makna dari setiap tulisan yang tertera di papan dagangan.
Sejak hari itu, Budi selalu menceritakan pengalaman menariknya di pasar desa kepada teman-temannya di kota, dan bagaimana sikap sederhana Mbok Sari membuatnya lebih menghargai budaya lokal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H