Mohon tunggu...
Dewi
Dewi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

[LOMBAPK] Keragaman dan Toleransi di Kos Kaum Intelek Dodol

12 Januari 2017   17:57 Diperbarui: 12 Januari 2017   18:11 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
nih foto wajib mejeng

Kos mahasiswi itu di huni oleh 28 cewek cantik nan manis lagi legit. Berasal dari Sumut, Sumbar, Riau, Kepri, Sumsel, Lampung, DKI Jakarta, Jabar, Jateng, DIY, Jatim, Kalteng, Bali, dan NTT. Ragam asalnya, ragam juga agamanya, yaitu Katolik, Protestan, Islam, dan Hindu. Hampir mewakili keberagaman di Indonesia. Untuk menjadi penghuni kos diwajibkan mengisi Formulir Penghuni yang bentuknya seperti formulir pendaftaran sekolah.  Mulai data pribadi seperti nama lengkap, nama panggilan, tempat/tanggal lahir, agama, data keluarga (nama orangtua, pekerjaan, alamat dan nomor yang bisa dihubungi), hingga riwayat kesehatan. Tidak lupa ditempel foto 3x4 cm.

Setiap habis musim liburan, penghuni sudah balik ke kos berbagai jenis oleh-oleh khas daerah masing- masing bertumpuk di meja makan menunggu dinikmati penghuni kos. Mulai dari ketawa yang keras (sekarang sudah renyah), bika ambon yang nikmat, keripik sanjay yang pedas, kerupuk ikan yang gurih, keripik pisang rasa coklat, moci yang mirip putri salju, dodol yang manis, brem yang bikin merem, salak pondoh yang manis, hingga apel malang yang hijau segar. Semuanya akan habis tak bersisa.

Belajar Bahasa Daerah Lain

Apabila sesama orang sesuku bertemu kami menggunakan bahasa daerah, tetapi apabila ada suku lainnya secara otomatis menggunakan bahasa Indonesia. Kami juga saling mengajari bahasa daerah, sehingga baik kami maupun keluarga kami masing-masing sering kaget. Saat orang Batak pulang kampung keluarganya akan bilang, “Kau lapar ya, kurang makan, kenapa pula suara kau pelan kali”. Lain hal nya dengan teman saya yang pulkam ke Jogja. Orangtuanya bilang, “Ngomong sama orang tua jangan begitu, ndak perlu kencang-kencang”.

Balada Biji Salak

Suatu hari ibu kos mengadakan pengajian di rumahnya. Ternyata ada sedikit sisa konsumsi. Jadi hanya di kasih ke penghuni kamar yang paling dekat. “Ini ada biji salak nak”, kata ibu kos sambil menyerahkan bungkusan dalam kresek hitam. “Terima kasih bu”, jawab temanku dengan muka kecut.

Dia menggerutu sambil membawa bungkusan itu dan mendatangi kami yang sedang bergerombol. “Ibu kos pelit banget, kalau dia ga mau bagi salaknya, ga perlu dia bagi aku bijinya. Masak aku dibagi bijinya doang?”.  Saya diam, yang lain ngakak.

Tumpahin ke mangkok dan cicipilah”, kata salah satu penghuni

Setelah dicicipi, “eh...enak, manis seperti kolak”. Saya ikutan mencicipi. Saya sebelumnya diam karena saya juga tidak tau apa itu biji salak.

Besok paginya kami berburu ubi di pasar dan membuat biji salak. Semua penghuni menikmati, tidak ada lagi buruk sangka.

Tragedi Mpek mpek

Setelah berunding cukup lama, akhirnya weekend itu akan kami isi dengan memasak mpek mpek. Teman orang Sumsel bertugas untuk mendapatkan resep dan cara memasaknya. Berbekal resep andalan yang didapat dengan cara menelepon Emak, kami pun menyiapkan bahan-bahannya. Berhubung teman saya tidak bisa makan ikan laut selain ikan teri, maka kami pun membuat mpek mpek lenjer ikan teri dan kapal selam. Membuatnya tak semudah yang kami perkirakan.

Sesuai dengan anjuran salah satu teman, supaya lebih higienis, tepung diaduk menggunakan air hangat. Tapi ko tepungnya jadi kayak matang gitu ya?. Telp Emak lagi minta petunjuk. Akhirnya semua bahan disatukan dan ditambahkan air dingin. Dibentuk bulat panjang, jadilah lenjer. Bagaimana dengan kapal selam? Hasilnya lebih mirip kapal karam. Membalut telur mentah dengan tepung ternyata susah, telurnya mengalir kemana mana. Adonan yang sudah dibentuk kemudian di rebus, setelah mengambang diambil, ditiriskan, dan setelah dingin siap untuk digoreng.

Minyak dipanaskan, mpek mpek dimasukkan, sudah mulai kuning, dan mpek mpek seperti meledak, meletup-letup. Minyak panas bercipratan kemana-mana. Tidak luput tangan dan kaki kami juga kena. Teman kembali nelepon Emak, ternyata harus dikerat-kerat dulu sebelum digoreng.

Setelah mengoles salep pada luka bakar, aktivitas lanjut terus. Itu mpek mpek paling enak yang pernah saya makan.

Nyepi yang Rame

Pada saat hari besar keagamaan, ucapan selamat biasanya disampaikan  ke orang yang merayakan. Kami juga sering membuat kartu ucapan mini dan ditempelkan di pintu kamarnya.

Hari itu libur memperingati Tahun Baru Saka (Nyepi). Dan ada 1 orang Bali beragama Hindu. Pagi itu kami mendatangi kamarnya dan mengucapkan ‘Ida, Selamat Hari Raya Nyepi’ yang dijawab dengan ‘terima kasih’. Tidak lama kami langsung keluar kamarnya karena dia nampaknya lagi belajar mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian.

Jam 9 pagi sudah lapar, kami mau keluar membeli sarapan. Tidak lupa mampir lagi ke kamar Ida.

“mau beli sarapan”

“ga, belum lapar”

“ya udah, kami pergi ya”

Beli sarapan dibungkus, kami makan di kos saja. Teman sekamarnya nyamperin. Ida dari tadi tidak keluar kamar, mungkin dia lagi sedih. Ini kan pertama kali dia ngekos, ngerayain hari raya sendirian tanpa keluarga. Kami ke kamarnya lagi, ngajak sarapan bareng dan tidak lupa mengucapkan, “ga usah sedih, kita rayain sama sama”. Ida hanya senyum dan bilang dia tidak apa-apa.

Siangnya, Ida juga tak keluar kamar. Kembali kami nyamperin dan ngajak makan. Jawabannya sama. Senyum dan belum lapar.

Sore jam 6 lewat, dia sudah mandi, bahkan membawa kue ke ruang tipi. Sambil membagikan kuenya, Ida bilang, “Saat Nyepi itu, sejenak meninggalkan keduniawian. Digunakan untuk mengisi rohani seperti berdoa, semedi dan puasa. Saya puasa dari jam 6 sore kemarin hingga jam 6 hari ini. 24 jam. Namanya juga Nyepi, yah SEPI”.

Kami mendekat, mengulurkan tangan meminta maaf. Betapa bodohnya kami, kami kira semua hari besar itu dirayakan semarak, makan besar, baju baru seperti pesta. Saya membayangkan alangkah susahnya dia puasa 24 jam setelah kami mengajaknya makan berkali-kali.

Warning Call dari Pak RT

Namanya cewek ngumpul banyak, pasti suaranya rame. Berisik. Belum lagi kalau main kartu coret-coretan muka, suaranya bisa kedengaran satu kelurahan. Kriiiing. Telepon berdering. 2 Menit kemudian ibu kos naik. 

"Anak-anak, sudah malam! Jangan ribut!, Pak RT barusan telepon, tetangga terganggu"

Seperti koor kami menjawab, "Iya Bu"

Tidak ada yang perlu diperdebatkan. Diingatkan sekali cukup. Langsung bubar saat itu juga.

Dari SD kita sudah belajar tentang suku, budaya, kesenian daerah,  agama, kitab suci, pemuka agama, dan hari besar. Hanya hafalan. Bersentuhan langsung dengan perbedaan itu membuat kita mengerti bahwa toleransi bukan untuk diucapkan. Juga bukan untuk di hapalkan, tetapi diterapkan.

Inti dari semuanya itu, Perlakukanlah orang lain seperti bagaimana anda ingin diperlakukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun