"Tapi aku sedang hamil, Kang," kalimat lain keluar dari mulut Maria.
"Aku tidak percaya kalau itu anakku. Kalau sudah lahir, test DNA saja. Perlu kamu tahu, kehamilan kamu tidak mengubah apa-apa. Kita tetap berpisah."
Badai paling badai. Maria limbung, segala macam dalam hidupnya berubah menjadi rentetan mendung. Ia kerap menghibur diri bahwa Tuhan tak akan mengambil sesuatu tanpa menggantinya dengan yang lain. Maka keberadaan anak yang tengah meringkuk di rahimnya menjadi penghiburan paling terang. Meski lelaki itu tak pernah ada saat dia menginginkan apa-apa, saat dia terhuyung-huyung ke kamar mandi menahan muntah, saat dia harus menjelaskan kepada orang-orang mengapa ia sendirian, saat dia menangis seperti orang gila di depan toko sepatu bayi.
Bagi Maria, keinginan Tuhan adalah misteri ganjil yang tak bisa ia pecahkan. Entah apa alasannya, anak yang tengah ia kandung pun diambil kembali dengan cara paling menyakitkan. Maria ingin sekali menyalahkan Tuhan atas kemalangan yang menimpa hidupnya, tapi ia bisa apa kecuali bertahan? Maka ia pergi, sebab ada sakit yang harus ia sembuhkan.
"Bunda jangan pergi," isak.
Ingatan Maria kembali ke terminal keberangkatan, kepada tangan putri yang tengah ia genggam. Perlahan, amat perlahan, jemarinya mengusap bulir-bulir yang berlarian dari mata gadis kecilnya. Bulir-bulir yang di jemarinya menjadi api paling membakar.
"Jangan menangis, Sayang. Bunda akan cepat kembali."
Dilarungkannya sebuah pelukan; hangat dan erat. Ditahannya dengan sekuat tenaga hujan yang akan curah dari matanya. Sekali itu saja, ia tak ingin menangis. Sekali itu saja, ia ingin melakukan kepergian dengan gegap.
Setelah pelukan, bibir Maria melarungkan ciuman. Pada kening, pada pipi kanan, pada pipi kiri, pada pucuk kepala putrinya. Ia menghirup bau kehidupan yang akan menjadi bekal kerinduannya kelak. Kemudian, dengan hati yang masih sayat, ia melepaskan segala macam jangkar.
Tubuh yang berpelukan erat terlepas.
Tangan yang bergenggaman erat terlepas.