Ketika menginjakkan kaki ke Terminal Keberangkatan IV dan sibuk melambai kepada para pengantarnya, perempuan itu tidak pernah tahu bahwa ia akan pulang dalam peti mati.
Bagi perempuan itu, Maria, bandara tidak pernah membuatnya senang. Bukan karena tempatnya yang terlalu ramai, penuh orang berlalu-lalang, tapi karena bandara selalu mengingatkannya akan kepergian. Setiap orang, dalam hidupnya yang singkat, barangkali pernah sekali saja meninggalkan seseorang dan tak kembali. Bandara mengingatkan Maria kepada rasa sakit akibat ditinggalkan, akibat meninggalkan. Kepada orang-orang yang tak tahu jalan pulang, termasuk dirinya.
Namun hidup yang terjal dan rasa sakit adalah hal yang harus dihadapi oleh semua orang. Maka dengan menahan air mata sekuat tenaga, ia berlutut di hadapan putrinya dan menggenggam tangan gadis kecil berusia sembilan tahun itu dengan erat.
"Bunda pergi, Sayang. Kamu di sini bersama Nenek. Bunda akan segera kembali, Bunda janji," mata Maria menghunjam manik mata putrinya, ada bulir yang perlahan menunggu pecah.
Putrinya menggeleng-gelengkan kepala. "Bunda jangan pergi, Bunda di sini aja."
Di palung hati Maria yang sayat, kata-kata putrinya adalah pisau. Sedetik, ia ingin mengurungkan kepergiannya, di detik lain ia bergulat dengan tekad yang bulat; mencari penghidupan. Sayangnya, ia tak bisa menjelaskan dengan gamblang perihal-perihal rasa sakit yang membuat ia pergi. 'Kerja di luar negeri untuk biaya hidup kita' Â adalah kalimat paling sederhana yang bisa ia hantarkan.
"Tahun depan Bunda pulang," Maria memaksakan selarik senyum dengan susah payah.
"Bunda jangan pergi," wajah matahari putri Maria seketika disapu mendung dengan hujan yang berlarian dari mata-mata kecilnya.
Hati Maria kembali sayat. Andai putrinya tahu, bahwa ibunya tak memiliki banyak pilihan. Ada hidup yang harus terus dijalankan. Maria bisa saja memilih untuk tinggal, bertarung dengan luka-lukanya hingga karam. Tapi ia tak ingin berakhir di penjara atau rumah sakit jiwa. Ada hal-hal yang tak sanggup ia hadapi. Ada hal-hal yang tak sanggup ia jalani.
"Masalah pribadiku bukan urusanmu, aku akan menikah dengan perempuan lain. Kita sudah berpisah, bukan? Aku sudah menceraikanmu secara agama, jadi kita bukan siapa-siapa lagi. Urus urusanmu sendiri."
Kalimat itu terngiang bagai gaung dari negeri yang jauh. Kalimat yang berasal dari laki-laki yang menjadi pusat semestanya, laki-laki yang menikahinya hanya karena ia janda beranak satu tanpa satu pun tempat pulang. Lelaki yang ia cintai setengah mampus tapi tak pernah mencintainya.