Skylashtar Maryam
Aku hanya lah kunang-kunang yang berpendar di pepucuk dedaunan ketika hujanmu menepi dan terdiam. Aku pengecut, Am. Kunang-kunang yang senantiasa bersembunyi dari badai, pun dari gerimis tipis karena takut sayapku lantak oleh jarum-jarum air yang menghujam.
Dan engkau bagiku adalah gelegak matahari; panas dan bara dalam kemegahanmu. Mataku selalu saja pasi ketika berhadapan denganmu. Jika dibandingkan dengan sinar yang menjalar dari lengan dan bahumu, kerlip kunang-kunangku adalah semu.
“Cintai aku sampai tua dan mati,” bisikmu.
Tapi cinta seperti apa yang aku punya untuk menggenapi satu-satunya harapan yang kau lapalkan? Bahuku telah seluruhnya kopong dilolosi gigitan angin; gigil.
“Aku tak akan lagi menolak, kemanapun takdir bermuara. Bila itu bersamamu, maka aku akan bersamamu,” bisikmu lagi.
Ah, Am. Andaikan engkau tahu bahwa perempuan seperti aku sudah lelah dicumbui berbagai rindu yang tak pernah sampai. Jadi kemana harus kukepakkan sayapku yang kian gontai? Cinta kini hanya suara-suara dari negeri nan jauh. Cinta kini hanya membuat pendarku sedemikian lusuh.
Bukan aku, Am. Bukan aku perempuan yang kau inginkan selama ini, kan? Sebab takdir tak pernah memiliki tangan kecuali jika kita membawanya serta menapaki jejalan. Engkau selalu mengatakan bahwa nasib membawamu mengair dan mengalir. Tapi engkau lupa mengatakan bahwa muara segala sungai tak pernah bisa digenggam. Tak pernah bisa diramal.
“Pernahkah kamu mencintai aku? Sekali saja?” suaraku selalu getar parau ketika kata-kata cinta teruar.
Kamu diam. Suaramu juga bagai ditelan kelepak kelelawar.
“Sekali saja, jawab pertanyaanku. Apakah kamu mencintaiku, Am?” kulipat jemari di genggamanmu dengan harapan menghantar hangat, untukmu, terlebih lagi untukku.
“Apa dengan bersamamu saja tidak cukup?” matamu terlempar ke arah jendela. Di luar hujan, deras dan kuyup.
“Kadang cinta butuh pengakuan,” hujan berpindah ke mataku.
Ya, Am. Kadang cinta butuh diteriakkan. Bukan hanya kata yang mengawang di langit-langit kamar. Ia bisa saja lelah lalu goyah, berpindah.
“Jangan pernah tanya hatiku, Na. Jangan pernah…” kepalamu menggeleng perlahan sementara matamu masih tertawan di luar.
Mataku meranggas, retas.
“Jangan menangis,” bisikmu.
Bahuku berguncang, ingin sekali melolosi segala beban. “Jangan siksa aku seperti ini, Am. Kamu ingin aku mencintaimu, ingin terus langkahku berderap ke arahmu. Tapi kamu… kamu tak pernah ingin tahu, tak pernah sekalipun mencoba mencintaiku,” bibirku terasa pahit, sisa rasa obat-obat yang dijejalkan para perawat. Tapi hatiku lebih pahit, dan tak ada obat apapun yang bisa mendistraksi setiap reaksi.
Kemudian tanganku dihantarkan ke dadamu. “Kamu rasakan denyutan di sana, Na? Ia berisi nama kamu, bukan nama orang lain seperti yang kamu sangka selama ini. Jika itu bisa diartikan cinta, maka artikan lah itu sebagai cinta.”
Aku menggeleng. “Kunang-kunang yang berpendar…” bibirku gemetar.
“Kamu adalah kunang-kunang yang menari sehabis hujanku.”
“Rapuh, jenuh,” bibirku masih bergetar.
Matamu lalu liar merayapi dinding kamar. Ibu jari menjalar ke pergelangan tanganku yang dibentengi perban. “Jangan berniat pergi dengan cara seperti ini. Aku akan sakit jika kamu pergi, mungkin juga akan mati.”
“Matahari tidak pernah mati.”
“Jangan pergi dengan cara seperti ini….”
Botol infus bergoyang-goyang di atas tiang di samping kiri. Pergelangan tangan kiriku seketika dicumbu ngilu. Aku, Am. Ingin sekali menjelma kunang-kunang dalam bayangmu, tapi sayapku sendiri kerap berkhianat. Lihat ini, Am. Perempuan seperti aku bahkan tidak bisa bertahan dari tikaman perasaan.
“Tapi kamu tidak pernah mencintaiku. Di hatimu hanya ada nama dan wajah perempuan itu. Kamu bersamaku hanya karena kamu tahu bahwa aku serapuh daun luruh. Kamu… hanya kasihan. Karena kamu tahu bahwa dengan bersamaku maka entah bagaimana caranya kamu bisa mencegahku menghabisi hidupku sendiri dengan cara paling menyakitkan.”
Aku tahu engkau tidak mampu menjawab, tidak mampu menyangkal. Kata-kata mungkin telah lama menyublim menjadi udara di mulutmu. Engkau kerap menjadi bisu.
“Aku mencoba bunuh diri bukan karena kamu,” kuhapus sisa air mata dengan punggung tangan. “Aku ingin pergi karena mungkin dengan begitu aku tak lagi melihat tubuhmu tertawan bersamaku sementara hatimu kau persembahkan bagi perempuan lain. Perempuan yang namanya kerap kamu rapalkan di setiap percakapan tentang apa saja. Tentang hujan, tentang malam, tentang kenangan. Remeh temeh macam apapun selalu mengingatkanmu akan dia.”
Engkau masih bisu, gengaman tanganmu mengendur.
“Aku juga tahu bahwa nama yang sering kamu sebut di setiap doa bukan lah namaku. Bagaimana mungkin aku tega menyaksikanmu tetap bersamaku hanya karena aku begitu mencintaimu sementara kamu tidak? Bagaimana mungkin aku tega menyaksikanmu terluka setiap kali bibir kita bertemu karena yang kamu bayangkan menyentuh bibirmu adalah perempuan itu? Aku sakit ketika melihat kamu sakit, Am.”
Gengggamanmu genap terlepas. Matamu tidak lagi mengembara di luar melainkan menancap kepada mataku.
“Apa maumu, Na?” keras, getas, suaramu menyimpan begitu banyak pecahan gelas.
Nafasku menghembus, perlahan. “Pergi lah, Am. Cinta tidak berlaku adil kepadamu selama ini. Mungkin ini waktunya kamu bersama perempuan yang kamu cintai. Kejar dia, Am. Bahagiakanlah ia,” seperti ada berton-ton beban terlepas dari bahuku.
“Tapi kamu…”
“Am!” kupotong kalimatmu. “Aku berjanji, ini darah terakhir yang aku tumpahkan demi cinta. Dengan begini aku jadi tahu bahwa batasku sudah habis. Pergi lah….”
Matamu tersaput embun, ada air menggenang, siap tumpah. “Kamu adalah kunang-kunangku…” suaramu parau.
“Always,” kuanggukkan kepala.
Kamu melangkah keluar dari kamar. Senyummu pudar, langkahmu gontai.
“Be good!” ucapmu.
Tidak ada kecupan di kening. Tidak ada jabatan tangan. Tidak ada kata-kata perpisahan. Aku kembali merenungi langit-langit ketika pintu tertutup dari luar.
“Aku akan tetap menjadi kunang-kunangmu, Am,” bisikku parau pada dinding. Air mata keluar satu persatu meski tanpa isak. Sungguh, ini tangis paling hening.
“Cintai aku sampai tua dan mati,” bisikanmu masih terngiang di kelengangan petang.
Segerombolan kunang-kunang menghambur dari mataku ketika hujan berhenti di luar. Kamar bermandi pendar samar. Dadaku tak lagi timpang ditikam perasaan. Ia bebas sekarang. Bersayap dan terbang. Terbang.
**
(Cibiru-Bandung, Maret 2012)
- Beberapa dialog disarikan dari percakapan dengan Absurditas Malka
- Ilustrasi dipinjam dari sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H