Mohon tunggu...
Langit Amaravati
Langit Amaravati Mohon Tunggu... lainnya -

An author\r\nhttp://langit-amaravati.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[KCV] Rendezvous

13 Februari 2012   17:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:42 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Skylashtar Maryam dan Absurditas Malka

No peserta: 135

Broken heart is just a word to fight

Nahas benar menjadi perempuan seperti Kandhita, lelaki yang dicintainya adalah ribuan belati tajam, selalu memberinya sayat, tikam dan belantara nyeri, di jantung, di jiwa, di hati.  Kenapa cinta harus seperti koin, memiliki dua sisi, bunga dan duri, sedih dan tawa. Kenapa tidak ada cinta yang sempurna, hanya cinta saja, hanya tawa saja, tanpa nyeri, tanpa luka.

“Lelaki itu, hanya belati yang lain.  Aku tahu itu, tapi aku mencintainya.”

Kandhita berkaca, bayangannya di dalam cermin tersenyum.  Kandhita  kembali bergumam “Hei kamu,” katanya sambil menujuk bayangannya sendiri dengan wajah genit.   “Aku menemukan lelakiku, aku menemukan penantianku, aku menemukan belati terakhirku.   Bisma…” Kandhita tersenyum senang.

Di tempat lain.

Bisma sedang asyik dengan game online, seolah dunia ini hanya dihamparkan untuk dihabiskan dalam berbagai permainan. “Mati kau!” Bisma memekik, kesalnya tumpah di layar monitor, musuh virtualnya mati berserak.   Handphone berdering, sebuah pesan masuk.

Sayang…

Aku kangen, ketemu yuk.

SMS itu datang dari hati, dari cinta yang saat ini rekah di hati Kandhita, hanya untuknya, hanya untuk Bisma seorang. “Iiiih, apa sih?” Handphone dilemparnya, ke sudut kamar terjauh. Bisma kembali bermain game. Handphone kembali berdering. “Aaaah… Pasti orang itu lagi.” Bisma merutuk.

Kamu kangen?

Aku sih, nggak.

Bisma mengirim SMS balasan, untuk Kandhita, perempuan yang baginya hanya selintas pertemuan, tidak pernah berkesan apa-apa, tidak menjadi getar di hati, tidak juga menjadi bunga-bunga di alam mimpi.  Untuk ketiga kalinya, handphone berdering.

Sayang, kamu lagi di mana?

Malas, dengan sangat malas Bisma membalas pesan singkat, sangat singkat dan beberapa tanda seru di belakang pesan.

Bisma : Di rumah!!!

Kandhita              : Aku di bawah.

Bisma                    : Di bawah?

Kandhita              : Buruan turun, aku takut di sini sendirian.

Bisma                    : Di bawah kostan gue?

Kandhita              ; Iya sayang :*

Bisma                    : Anjrit, ngapain?

Kandhita              : Mau ke bawah ga? Kalau ga mau, aku pulang lagi ajah.

Bisma                    : Nggak ah, males.

.               Bisma kembali bermain game, handphone dimatikan, seolah tidak pernah ada sederet pesan, tidak ada peristiwa di luar sana, hanya ada satu realitas baginya, game on line.”Sial! Pasukan gue mampus!” Bisma marah-marah.

“Kenapa dia tidak turun?”  Kandhita memandangi langit yang kian mendung.      Ada yang bergelenyar di dada Kandhita ketika sosok yang ditunggunya tidak jua datang.  Matanya menyapu teralis berkunci ganda dan anak-anak tangga.  Tangga yang ditatapinya tidak akan pernah memperlihatkan Bisma turun, hanya akan menjadi sederet anak tangga yang sepi. Mungkin, Kandhita tidak harus menunggu, tidak juga harus memohon, tidak perlu rasanya berharap.  Satu-satunya yang harus dilakukan, hanyalah kembali pulang, bersama hatinya yang sedikit retak.

Tapi Kandhita tidak pulang. Ia mendatangi bangku di sudut taman, masih memancangkan mata ke arah tempat kost seolah-olah anak-anak tangga itu akan membawa Bisma turun, menemui dirinya, menyembuhkan rasa sakit yang perlahan menetas di dadanya.

“Satu kali saja pertemuan, maka aku akan pulang,” bisiknya kepada udara.

Sudut taman yang muram, malam yang kian beranjak tua, lampu taman yang kian temaram.  Kandhita duduk dalam diam.  Jemarinya mengetik satu kali lagi pesan.

Aku tunggu di bawah.  Turun, dong.

Bisma membaca pesan itu, Bisma mengerti betul apa yang harus ia lakukan; turun dan menemui Kandhita.  Tapi ia enggan.  Baginya dunia tak diisi oleh hal-hal remeh temeh semacam cinta dan rindu.  Ia tidak menginginkan Kandhita, saat ini, tidak juga nanti.  Entah sampai kapan.

Handphone kembali dilempar ke arah ranjang, Bisma kembali bergulat dengan dunianya; dunia yang tidak pernah bisa dijamah oleh orang-orang, apalagi perempuan yang mengaku memiliki begitu banyak cinta dan rindu.  Bisma tidak ingin itu, tidak membutuhkan itu.

Langit malam yang gelap semakin hitam.  Kandhita masih sendirian di sudut taman berlampu temaram.  Dadanya kian sesak ketika tak satupun balasan ia terima.  Tapi ia tak ingin pulang.  Ia sudah berjanji untuk menunggu, maka ia menunggu.

Please… turun dulu dong.

Aku janji akan langsung pulang kalau sudah ketemu kamu.

Pesan kembali dikirimkan oleh Kandhita. Pesan dibaca oleh Bisma.

Tunggu saja di situ sampai jadi batu.

Balasan pesan Bisma dikirimkan. Balasan pesan dibaca. Dada Kandhita tersayat.  Langit kian jengat.  Malam pun bertambah jahat.  Ditunggangi setan-setan yang semakin sering lewat.

Hanya batu, itulah isi dada Bisma, semakin malam semakin keras. Khandita yang sedari tadi bukan siapa-siapa, kembali melintas dalam benak, melesat-lesat. “Masa sih nungguin juga?” Bisma berhenti berhenti game, dibukanya pintu kamar. Kemudian mengintip ke arah taman, mencari-cari Kandhita yang katanya sedang menunggu.

“Busyet… Dhita beneran nungguin aku. Ih geje banget si tuh anak.”

Bersama kawanan sepi, malam yang mengalunkan requiem dan hisapan nafas yang lebam, Khandita di dalam penantian, hanya menyulut kesal bagi Bisma.

Bodo ih, ngapain sih nungguin aku?

Yadah gue turun, tapi loe kudu cepet pulang. Deal?

Sejuta bintang, sejuta rembulan, berkerlingan dalam benak Kandhita, rupanya cinta memang tidak pernah memiliki jalan tol, melulu tebing terjal yang berduri ribuan pedang. Ya, deal. Kandhita membalas pesan, senyum berhujan dari bibirnya, dunia sepi dan nyeri, seketika reda, menjadi taman bunga, meskipun sangat fana, sekadar lintas, toh itu sudah sangat cukup.

“Hei.  Aku dah turun nih, sekarang pulang ya.”

“Ih, gitu deh. Aku pengen ngobrol ma kamu tau.”

“Aaaah, lama. Nanti aja ngobrolnya, laen kali. Aku lagi sibuk.”

“Sibuk maen game?”

“Nggak.”

“Bentar ya, plis…”

“Lima menit, dah itu aku cabut.”

Mereka berdua duduk di bangku taman, bersebelahan.  Kandhita dengan hati yang sarat dengan debar, dan Bisma dengan hati yang berdegup samar.

“Aku kangen sama kamu.”

“Udah?  Cuma mau ngomong itu?”

“Aku juga pengen kamu tahu kalau aku sayang sama kamu.”

“Itu doang?”

“Iya itu doang.”

“Jadi kamu jauh-jauh datang dari luar kota untuk ketemu aku dan ngomong kangen sama sayang aja?”

Kandhita mengangguk, rambut sebahunya dipermainkan angin. “Aku akan menyesal seumur hidup kalau aku nggak bilang ini ke kamu.”

Bisma tertawa, melepas kekonyolan ke udara.  “Bodoh.”

“Aku tahu,” ada kaca yang siap pecah di mata Kandhita.

Bisma berdiri, di dalam dadanya berkecamuk segala macam rasa yang tak sanggup ia beri nama.  Mungkin bukan cinta, ia yakin itu bukan cinta.

“Aku mau masuk, lebih baik kamu pulang sebelum terlalu malam,” gumam Bisma.

Kandhita menghembuskan nafas kemudian berdiri, menyibakkan rasa sakit yang mulai membanjiri seluruh sendi dalam tubuhnya.  “Aku pulang sekarang.”

Kaki Kandhita menggilas rumputan dan jejalan.  Ia menoleh sebentar, hanya untuk meyakinkan bahwa wajah laki-laki yang begitu ia rindukan masih bisa ia sisipkan dalam ingatan.  Agar ia bisa pergi dengan tenang.  Kandhita melambaikan tangan.

Bisma mematung, memandangi punggung Kandhita yang semakin samar dipangkas jarak.  Hatinya bergeletar.  “Perempuan bodoh!” gumamnya samar.  Ia balas melambai ketika dilihatnya Kandhita menoleh dan melambaikan tangan.

Perpisahan yang tak terbantahkan.

***

Tidur Bisma disiksa mimpi-mimpi yang tak bisa ia beri arti.   Wajah Kandhita berkelebatan, memenuhi ruang.  Tidur Bisma yang semakin gelisah diselamatkan oleh dering telepon.

“Orang gila mana sih yang nelepon jam segini?” Bisma melirik jam dinding, pukul tiga dini hari.

“Selamat pagi, maaf mengganggu.  Ini Nak Bisma?” suara perempuan setengah baya di seberang sana, terdengar lelah.

“Iya betul, ini dengan siapa?” Bisma bangkit, meraih air mineral dalam botol, mereguknya tandas.

“Ini Tante Mia, mamahnya Kandhita.  Kamu teman dekatnya Kandhita yang tinggal di Bandung, bukan?” suara perempuan di seberang sana berganti sedih.

Ada apa ini?  “Iya, tadi malam Kandhita memang datang ke sini.  Tapi sudah pulang lagi kok, Tan.”

Suara isak.

“Tante?” Bisma tertegun.

“Kandhita…” suara tangis.  “Meninggal karena kecelakaan tadi malam.  Dia… tertabrak mobil waktu perjalanan ke Stasiun Gambir.  Tadi dia memang bilang mau ke Bandung, ketemu kamu.  Tapi…”

“Tidak mungkin… “ Handphone terjatuh dari tangan Bisma.

Sayang, aku tunggu di bawah.

Sebuah pesan masuk.  Dari nomor Kandhita.  Bisma tersungkur mencium lantai bersama derai tangis.  Tangis pertama dalam hidupnya.

Perpisahan yang tak terbantahkan.

Bandung, Februari 2012

Untuk melihat karya yang lainnya, di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun