Mohon tunggu...
Langit Amaravati
Langit Amaravati Mohon Tunggu... lainnya -

An author\r\nhttp://langit-amaravati.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[KCV] Keping

14 Februari 2012   14:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:39 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Skylashtar Maryam & Absurditas Malka

No. 135

Just a broken heart, not a word to fight
I'll be alright
I'll be alright

(I’ll Be Allright – Anggun)

*

Ini bukan harga yang pantas aku terima setelah mencintaimu dengan segenap dada.  Separuh jiwa.  Mungkin memang aku yang salah karena telah meletakkan satu-satunya rasa percaya yang aku punya padamu; kamu yang hanya seorang laki-laki, seorang manusia biasa yang hatinya bisa saja berpaling pada perempuan lain, kepada hati yang lain.

Sejak malam berhujan di kafe itu, tak banyak yang aku ingat tentang kamu kecuali sebuah magma berisi luka.  Di sini, di dalam dada.

“Lupakan saja aku, Fey...” kamu memohon seakan-akan dengan dilupakan maka hidupmu seketika berubah ringan.

“Kenapa, Re?” aku masih tak mengerti, masih mencari-cari kemana arah permintaan tak masuk akalmu.

“Karena kita tidak mungkin bersama-sama lagi untuk selamanya,” jemarimu meraih sendok kecil dan mulai mengaduk kopi, matamu terpaku pada buih-buih dalam cangkir.

“Kenapa?” masih pertanyaan yang sama.

“Karena kita tidak mungkin bersama,” juga jawaban yang sama.

“Apa salahku?” kucoba meraih tanganmu, tapi segera ditepis angin keraguan.

“Kamu tidak salah apa-apa,” gumammu, sepotong nada instrumental yang tak bisa kukenal menyembul lirih dari pengeras suara dalam ruangan, menemani gumamanmu.

“Kamu mau kita putus?” sayatan nada-nada pilu itu semakin kencang di telingaku.

Kamu mengangguk.

“Kenapa?” lagi-lagi aku dan kamu berputar dalam labirin pertanyaan yang sama, belum beranjak kemana-mana.

“Bisakah kamu tidak lagi mempertanyakan pertanyaan itu?  Aku sudah bilang, kita tidak bisa bersama.  Apakah itu kurang jelas?” ada amarah dalam matamu.

“Re, kita berada di dunia penuh kausalitas.  Segala sesuatunya ada sebab dan ada akibat.  Aku adalah manusia yang berada di dalamnya, dan karena itu aku ingin tahu apa yang menyebabkan kamu ingin putus dariku.  Tidak bisa bersama saja bukan alasan yang cukup, bukan jawaban yang cukup untuk membuat aku berhenti bertanya.”

Kamu diam.

Aku diam.

Harum kopi berkolaborasi dengan nada-nada dari pengeras suara, menciptakan ritme statis bagi duka yang mulai menetes di mata.

“Kamu mencintai perempuan lain,” ucapku pelan.

“Bagaimana kalau iya?” kamu mendongak.

Ah, jadi itu sebabnya?

“Iya, aku mencintai perempuan lain,” katamu lantang.

Sepasukan silet mulai menyayat dada.

“Dia teman SMU-ku dulu.  Cinta pertama,” tanpa rasa berdosa kamu meneruskan.

Kali ini sepasang pisau merajam telingaku.  Aku ingin tak mampu mendengar.

“Kami bertemu di acara reuni kemarin, dan aku baru sadar bahwa ternyata aku masih mencintainya.”

Deretan api membakarku.

“Tapi kamu mencintai aku,” kugenggam cangkir kopi untuk mencegah tanganku melemparkan itu ke wajahmu.

Kamu mereguk kopimu.  “Itu dulu.”

Aku tahu apa artinya kalimat itu.  Maka segera kubenahi tas lalu beranjak dari situ.

“Jangan bermain-main dengan luka,” desisku di depan wajahmu.

*

Ini bukan harga yang pantas aku terima setelah mencintaimu dengan segenap dada.  Separuh jiwa.  Mungkin memang aku yang salah karena telah meletakkan satu-satunya rasa percaya yang aku punya padamu; kamu yang hanya seorang laki-laki, seorang manusia biasa yang hatinya bisa saja berpaling pada perempuan lain, kepada hati yang lain.

“Fey… aku mencintaimu.  Putus dengan kamu adalah suatu kesalahan besar,” kamu menggenggam tanganku.

Ada debar, samar, gusar.

“Jangan diam saja, tolong.  Aku ingin kita bersama-sama lagi seperti dulu.  Kamu dan aku,” genggamanmu semakin kuat.

Tak ada kata yang ingin aku suarakan.  Padahal ingin kucaci kamu, ingin kulemparkan jutaan pisau ke dalam dadamu karena sebelumnya kau pernah melukaiku.  Tapi aku diam.

“Feya… kembalilah ke sisiku,” kamu semakin memohon.

Prahara itu tumpah.

Kutinggalkan kamu bersama dada yang pecah.  Ferre, cinta tidak pantas dikhianati sedemikian rupa.  Aku bukan perempuan yang bisa kau cinta, kau tinggalkan, kemudian kau cinta kembali.

Suaramu memanggil namaku lantang.  Aku tetap berjalan.  Tak ada cinta yang hilang sebetulnya.  Ia ada.  Di dalam dadaku.  Tapi mungkin, cinta itu bukan untuk kamu, Re. Bukan untuk kamu.

***

karya yang lainnya di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun