Feminisme (tokohnya disebut Feminis) adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. (Wikipedia)
Saya sering disangka sebagai feminis ketika berbicara atau menulis tentang perempuan, baik itu dalam puisi, cerpen, atau artikel saya di blog dan FB. Saya lebih sering disangka feminis ketika ngobrol langsung dengan orang-orang. Mungkin ketika ngobrol nada saya tinggi dan sesekali mencibir, sedangkan di dalam tulisan kata-kata saya cenderung menyudutkan kaum lelaki.
Dilihat dari definisi feminis yang saya dapat di wikipedia tersebut di atas, terlihat jelas bahwa feminisme menuntut kesetaran. Mungkin saya begitu, tapi saya tidak merasa begitu.
Okelah, saya banyak koar-koar tentang perempuan dan kemandirian ekonomi, tentang P3K ketika mengalami KDRT, tentang hak perempuan untuk mendapatkan kesempatan dalam hal pendidikan dan pekerjaan, dan isu-isu gender lainnya, namun saya tetap tidak merasa menjadi feminis karena menulis itu.
Kesetaraan gender itu apa sih? Menurut saya, kesetaraan gender itu bukan pemerataan dalam konsep utopis yang menuntut bahwa perempuan harus disamakan dengan lelaki. Ya jelas tidak bisa, wong perempuan dan lelaki diciptakan dengan struktur yang berbeda, kok. Gimana mau disamakan? Perempuan diciptakan seperti ini (seperti saya), dengan rahim dan payudara, dengan kulit halus dan jari-jari lentik bukannya tanpa tujuan. Lelaki diciptakan seperti itu (seperti Anda para lelaki), dengan testis dan jakun, dengan lengan kekar dan dada bidang juga bukan tanpa tujuan.
Karena perempuan adalah ibu dan istri yang akan mengandung, melahirkan, menyusui, dan satu-satunya tempat mengadu jika kita sedang sedih dan ketika ingin menangis. Karena laki-laki adalah suami dan ayah yang akan bekerja di luar untuk mencari nafkah.
Kalau saya banyak teriak-teriak tentang hak-hak perempuan, itu bukan berarti saya feminis. Karena saya tidak akan begitu bodoh untuk mengimami Shalat Jumat misalnya. Saya juga tidak mengerti tentang feminis liberal, radikal, atau jenis feminis lainnya. Yang saya tahu bahwa perempuan berhak mendapatkan apa-apa yang dia usahakan dan laki-laki berhak mendapatkan apa-apa yang dia usahakan.
Saya sering membuat status di FB yang menyinggung-nyinggung isu gender. Tentang bahwa laki-laki itu penipu lah, tidak punya otak lah, tidak punya hati lah, atau punya hati tapi tak dipakai lah (tentu status saya tidak eksplisit seperti ini, karena biasanya diolah memakai ramuan puitis ^^), ada yang membenarkan (kebanyakan perempuan) dan ada yang juga yang menyanggah (tentu saja laki-laki). Tapi apakah itu lantas menjadikan saya feminis? Saya rasa tidak.
Perempuan dan kemandirian ekonomi adalah wacana sosial yang sudah banyak dilakukan bahkan sejak ribuan tahun lalu. Masih ingat Khadijah istri Rasulullah? Beliau adalah enterpreneur perempuan berpendapatan tinggi, bahkan lebih tinggi dari suaminya sendiri. Jadi salah kalau saya mengajak perempuan lainnya untuk bekerja, untuk berkarya, untuk menghasilkan uang sendiri? Yang salah adalah jika saya mengajak perempuan lainnya untuk mencari uang dengan menelantarkan suami dan anak. Yang saya tekankan bukan bekerja di luar rumah, tetapi menghasilkan karya yang mendatangkan income. Entah itu misalnya membuka katering, membuka warung makan, membuka les, menulis, dan kegiatan lain yang tetap mendatangkan uang tapi tidak harus keluar rumah sehingga anak dan suami tetap terurus. Ah, iya... ujung-ujungnya ke duit juga bukan? Maksud saya adalah, jika seorang perempuan sudah bisa mengatualisaikan diri baik itu di dalam maupun di luar rumah, jika terjadi apa-apa dalam rumah tangganya maka dia akan masih mampu bertahan secara finansial.
Sudah banyak kita dengar berita tentang perempuan-perempuan yang terpaksa menjajakan diri untuk memenuhi kebutuhan hidup karena mereka tidak memiliki keahlian lain dan pendidikan yang cukup untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan halal. Ah, lagi-lagi motif ekonomi. Mereka terpaksa menjadi PSK karena ada perut-perut yang harus diberi makan. Coba kalau memiliki keahlian, pendidikan, dan kesempatan, apakah masih ada perempuan yang mau jadi PSK?
Saya juga seringkali menulis tentang KDRT yang sedikit banyak melabeli diri saya sebagai feminis atau lesbi. Aduh maaf, dengan menulis itu bukan berarti saya berpindah orientasi seksual.
Begini, dalam KDRT atau kekarasan terhadap perempuan lainnya, baik itu secara fisik maupun psikis, perempuan yang tadinya korban jadi terbalik menjadi tersangka. Kenapa begitu? Karena masyarakat selalu lupa bahwa perempuan, selain sebagai seorang istri adalah juga manusia yang harus dipelakukan selayaknya manusia. Bukan kantung pasir latihan tinju.
Berikut adalah opini pihak berwajib jika ada seorang istri yang melapor karena dipukuli oleh suami:
- Ah, kamunya aja kali yang nggak nurut sama suami, makanya dipukulin.
- Makanya jadi istri itu harus tahu apa maunya suami.
- Alah, nanti juga masih mau kok diajak tidur.
- Kamu nggak becus mungkin.
- Dan lain-lain, dan lain-lain.
See? Ini pengalaman shahih. Jangan mau melapor jika belum ada visum dokter yang menjelaskan bahwa tulang Anda patah, gigi Anda rontok, atau muka Anda benjol-benjol.
Saya tidak menuntut apa-apa, tidak menuntut kesetaraan yang berlebihan. Dengan menulis ini, saya hanya ingin perempuan dijadikan partner hidup, bukan budak. Pembahasan mengenai KDRT mungkin akan saya posting di tulisan lain. Ini hanya pembukaan. Saya hanya ingin mengajak Anda menelaah lebih lanjut, bahwa surga terletak di telapak kaki perempuan. Ibu Anda, istri Anda, putri Anda, dan Anda sendiri pembaca perempuan. Tolong jangan biarkan jalan menuju surga itu ternodai dengan tindakan-tindakan diskriminatif yang pada akhirnya membentuk perempuan-perempuan pembangkang karena selalu didera rasa sakit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H