5. Â Berita hoax
Berita hoax merupakan berita palsu yang bertentangan dengan fakta yang ada serta dapat merugikan orang lain. Dalam kasus ujaran kebencian terhadap Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, penyebaran berita hoax sering kali digunakan untuk menggiring opini publik dengan informasi yang menyesatkan. Misalnya, penyebaran berita hoax mengenai latar belakang atau kebijakan mereka dapat dengan mudah menyebar di media sosial, lalu menciptakan persepsi negatif di masyarakatt terhadap kepemimpinan mereka.
6. Â Perkataan provokasi atau menghasut
Provokasi dapat diartikan sebagai perbuatan yang membangkitkan kemarahan seseorang dengan cara penghasutan dan pancingan. Contohnya yaitu Prabowo dan Gibran menjadi sasaran empuk bagi pelaku ujaran kebencian dengan memprovokasi masyarakat dengan kata-kata seperti "Guru-guru milih Prabowo Gibran aja udah sakit otaknya, milih dipimpin sama yang gak berpendidikan....". Kalimat seperti inilah yang mengandung provokasi yang ditujukan kepada masyarakat Indonesia untuk ikut membenci Prabowo dan Gibran.
Adapun beberapa faktor yang melatarbelakangi timbulnya ujaran kebencian terhadap Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka di platform media sosial X diantaranya meliputi:
1. Â Polarisasi Politik
Ketegangan antara anggota masyarakat yang menjadi pendukung dari Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dengan anggota masyarakat lainnya yang menjadi oposisi keduanya seringkali menjadi pendorong utama timbulnya ujaran kebencian dikarenakan adanya perbedaan pandangan politik diantara kedua kelompok masyarakat ini. Sehingga, media sosial X yang awalnya berfungsi sebagai sarana menyuarakan pendapat justru berubah menjadi sarana penyebaran propaganda negatif terhadap pemimpin negara. Dalam konteks ini, ujaran kebencian tidak hanya sekedar kritik dari beberapa anggota masyarakat, tetapi sudah menjadi penghinaan personal yang disertai dengan penyebaran informasi palsu yang dirancang untuk menggiring opini negatif publik. Sehingga, perlahan-lahan timbullah keraguan terhadap pemimpin yang sah diantara anggota masyarakat yang masih awam dengan kondisi politik di Indonesia.
2. Â Kemudahan Penyebaran Informasi
Menurut Kaplan dan Haenlein (2010), teknologi Web 2.0 yang digunakan oleh media sosial memungkinkan pengguna membuat dan membagikan konten secara cepat. Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa berita palsu dan informasi negatif cenderung menyebar lebih cepat di media sosial daripada berita yang faktual. Ini menunjukkan bahwa media sosial bukan sekadar sebagai sarana berkomunikasi, melainkan juga sebagai wadah penyebaran informasi yang bisa merusak reputasi seseorang atau kelompok.
Penyebaran informasi negatif ini juga sangat mudah meningkat dikarenakan algoritma media sosial. Algoritma yang diterapkan di platform media sosial X yang cenderung memberikan prioritas kepada konten yang menarik minat banyak orang, termasuk konten yang bersifat provokatif atau kontroversial. Dalam situasi yang melibatkan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, informasi negatif yang beredar di media sosial dapat dengan mudah mencapai masyarakat luas dalam waktu singkat, sehingga memperburuk citra mereka di hadapan publik.
3. Â Anominitas di Media Sosial
Teori deindividuasi yang dikemukakan oleh Zimbardo (1969) menjelaskan bahwa kondisi anonimitas dapat mengurangi rasa tanggung jawab individu terhadap perilaku yang ditunjukkan. Dalam hal ini, individu merasa lebih berani untuk mengungkapkan ujaran kebencian tanpa takut akan konsekuensi langsung dari tindakan mereka. Dengan kata lain, anonimitas di media sosial membuat individu merasa bebas dari identitas asli mereka, sehingga mereka menjadi lebih berani untuk melakukan suatu perbuatan yang mungkin tidak akan mereka lakukan di dunia nyata. Hal ini dapat dilihat dalam kasus ujaran kebencian yang diarahkan pada tokoh publik seperti Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, dimana para penggguna media sosial merasa bebas mengekpresikan pandangan negatif mereka terhadap pemimpin tanpa mempertimbangkan dampak yang mungkin timbul dari perbuatan mereka tersebut.
Sebagai akibat dari fenomena ujaran kebencian, terdapat beberapa dampak dari ujaran kebencian yang ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, antara lain:
1. Â Dampak terhadap Persepsi Publik
Penyebaran ujaran kebencian secara masif berpotensi memengaruhi opini publik secara negatif terhadap kedua tokoh ini. Sebagai contoh, berbagai konten negatif yang muncul di media sosial dapat mengubah cara masyarakat menilai kebijakan atau kepribadian para pemimpin tersebut. Hal ini relevan dengan teori agenda-setting (McCombs & Shaw, 1972) yang menjelaskan bagaimana media sosial mampu menentukan isu yang dianggap penting oleh publik. Jika konten negatif mendominasi ruang digital, maka pandangan masyarakat terhadap kedua tokoh dapat ikut terdistorsi.
2. Â Polarisasi Sosial
Pengaruh negatif terhadap opini publik terhadap kedua tokoh ini dapat terjadi jika ujaran kebencian tersebar secara luas. Misalnya, berbagai konten negatif yang tersebar di media sosial memiliki potensi untuk mengubah persepsi masyarakat terhadap kebijakan atau karakter para pemimpin, atau karakter para pemimpin. Dalam konteks ini, teori agenda-setting (McCombs and Shaw, 1972) menjadi relevan karena menjelaskan kemampuan media, termasuk media sosial, dalam menentukan isu yang dianggap penting oleh masyarakat. Apabila ruang digital dipenuhi oleh konten negatif, persepsi masyarakat terhadap kedua tokoh juga dapat menjadi terpengaruh.
3. Â Dampak terhadap Interaksi Sosial
Paparan terhadap ujaran kebencian di platform media sosial X juga berdampak pada gaya berinteraksi penggunanya. Orang yang kerap terpapar konten negatif biasanya cenderung menunjukkan sikap defensif atau bahkan agresif terhadap orang yang dianggap berlawanan. Hal tersebut menyebabkan diskusi di media sosial seringkali beralih  menjadi pertengkaran pribadi daripada perbincangan yang bermanfaat. Penjelasan fenomena ini bisa dipahami melalui teori efek disinhibition (Suler, 2004) yang menyatakan bahwa keadaan anonimitas dalam platform online mendorong orang untuk berekspresi tanpa filter, sehingga memudahkan mereka untuk mengekspresikan emosi negatif secara langsung. Â
4. Â Dampak Psikologis dan Sosial
Orang yang menjadi target ujaran kebencian mungkin merasakan dampak psikologis berupa ketakutan, kekhawatiran, Â dan hilangnya perasaan aman. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya isolasi sosial dan menurunnya mutu interaksi mereka dalam kehidupan sehari-hari. Gangguan psikologis yang timbul pada korban ujaran kebencian berpotensi mempengaruhi keseimbangan mental mereka dalam jangka waktu yang lama.