Ketiga pasal di atas bertabrakan dengan Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi begini, lho..
Bunyi Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah "Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat"
Jika membela pasal 218 219 220 berarti mengingkari kedaulatan negara sendiri sebagai Negara Demokrasi karena Presiden dan Wakil Presiden dianggap terutama di mata hukum, yang mana bertentangan dengan hak kebebasan berpendapat, mengkritisi, dan berekspresi yang dimiliki oleh warga negara.
Memang, sih kedudukan Presiden dan Wakil Presiden sangatlah berisiko jika tidak dilindungi oleh undang-undang. Pasti kalian juga sering mendengar berita tentang penghinaan dan ancaman pembunuhan yang dilayangkan kepada Presiden dan Wakil Presiden kita tercinta. Belum lagi dibumbui oleh ungkapan-ungkapan provokatif dari oposisi yang masih saja mengungkit soal pemilu Bulan April lalu. Dengan adanya pasal-pasal ini, perlakuan negatif secara verbal maupun non verbal terhadap Presiden dan Wakil Presiden bisa berkurang bahkan hilang.
Tapi,
pasal-pasal diatas rentan disalahgunakan. Konten narasi dari pasal-pasal 218-219-220 yang kurang jelas bisa aja, lho dijadikan senjata untuk mendakwa pengkritik Presiden maupun pemerintah yang dianggap menghina meski intensinya tidak seperti itu.
Sexy Killer karya Dandhy Laksono melalui Watchdoc Documentary bisa saja dianggap menghina pemerintah karena menunjukan sisi gelap dari pertambangan batu bara dan hubunganya dengan badan politik yang kurang bertanggung jawab. Padahal melalui dokumentasi itu, banyak masyarakat menjadi terbuka matanya soal perpolitikan dan mengkritisi keputusan pemerintah seputar tambang batu bara yang merusak lingkungan.
Yang perlu diketahui dari pasal ini adalah bentuknya merupakan aduan, sesuai dengan pasal 220 RKUHP, maka jika nanti pasal ini diterapkan, Kepolisian tidak bisa langsung menindak penghinaan, melainkan harus ada laporan dari kuasa Presiden atau Wakil Presiden. Tapi definisi kuasa Presiden dan Wakil Presiden tidak dijabarkan secara jelas. Jika RKUHP jadi diterapkan tanpa adanya perubahan lebih lanjut terhadap frasa ini, bisa jadi pasal ini disalahgunakan untuk berbagai pihak yang mengaku sebagai 'kuasa Presiden dan Wakil Presiden' untuk menjerat para pengkritik Pemerintah yang berasal dari berbagai lapisan masyarakat.
Sekarang bukan lagi saatnya kritisi tapi masuk bui. Berpendapat dan mengkritisi politik serta pemerintah sangatlah penting untuk kemajuan suatu bangsa. Tanpa adanya pemikiran kritis, tidak akan ada pembaharuan nalar dan perubahan.
Artikel asli ditulis penulis di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H