Tuanku yang bertahta moral di sana
Yang membentuk aturan dalam kantuk
Yang rapih berdasi tapi tiada bercawat
Menyematkan kebodohan dan mengumpulkan pundi keacuhan
Apa katanya,…
“Demi moral, pasung mereka!”
“Demi Hawa, penjarakan segala wanita!”
“Negri ini lebih baik tanpa mereka, tapi kita!”
“Kita adalah moral hidup!”
Itulah ucapnya, sembari gelisah menyergap syahwat
Tuanku menyeret paksa kehormatan untuk kepalanya
Yang menggelinjang kumpulkan upeti pamrih atas jasanya
Bertipu lagak mengatur senyum dalam cermin
Sekejap merasa pintar saat dasi mengikat hati
Tuanku telah membelenggu rasa kini
Melantunkan syair moral dalam kedangkalan makna
Pagar pembatas ditegakkan di atas sekam
Pecut sanksi telah pula disiapkan
Bersiap menceletarkan nada kesucian yang ambigu
Tuanku telah mengetuk kepastian kini
Pasti akan lekuk anugerah tlah menjadi kutuk jahanam
Hangat khayal kan menuju dingin dinding kurungan
Gemulai gerak sakral kan dicurigai sebagai jalang
Bahkan relung kesendirian pun telah pula digenangi aturan
Mungkinkah tuanku merasa diri Tuhan
Lalu mengenakan jubah seolah sempurna
Hunjamkan telunjuk dan menjentikkan tuduhan
“Kau berdosa!” - Kau tidak! - Kau berdosa! - Kita tidak!”
Mungkinkah tuanku merasa lupa
Lalu sekarang berkata,
“Kita adalah suara, bukan telinga!”
“Palu mengetuk tiga, adalah senjata!”
“Lantas siapa yang berkuasa? selain kita!”
“Kita adalah suara, bukan telinga
Oktober 2008
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H