Mohon tunggu...
Nabila
Nabila Mohon Tunggu... Lainnya - Freelance writer

Writing is the cathartic escape that untangles the web of thoughts and emotions, freeing the mind from the thorns of confusion and anxiety.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sentimen tentang Gender

13 September 2022   21:08 Diperbarui: 13 September 2022   21:18 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gender merupakan sebuah istilah yang tidak hanya mengacu pada karakter biologis seperti laki-laki dan perempuan. Mansoer Fakih mendefinisikan gender sebagai sifat yang melekat pada laki-laki atau perempuan yang dikonstruksi secara social atau kultur. Konsepsi gender dapat berubah seiring dengan berjalannya waktu dan berkembangnya zaman. Suatu isu dapat dikategorikan sebagai isu global bilamana isu tersebut bersifat universal, tidak terbatas ruang dan waktu, dan butuh penyelesaian bersama dengan aktor-aktor dari berbagai negara. Isu gender utamanya masuk melalui isu Hak Asasi Manusia (Magna Carta tahun 1215, Bill of Rights tahun 1989, Virginia Bill of Rights tahun 1776, Declaration of Independence tahun 1776, dan African Charter of Human and People Rights). Ketika gerakan feminis internasional mendapatkan momentumnya selama tahun 1970-an, Majelis Umum PBB mendeklarasikan bahwa tahun 1975 merupakan Tahun Perempuan Internasional dan menyelenggarakan World Conference on Women yang pertama kali diadakan di Meksiko. Dan pada tahun 1979, Majelis Umum PBB mengadopsi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), yang sering digambarkan sebagai RUU Hak Asasi Perempuan Internasional. Dalam 30 artikelnya, Konvensi ini secara eksplisit mendefinisikan diskriminasi terhadap perempuan dan menetapkan agenda aksi nasional untuk mengakhiri diskriminasi tersebut (United Nations). Sementara itu, studi hubungan internasional acap kali dikategorikan sebagai bias gender, dimana dalam studi tersebut lebih sering mencerminkan dunia yang maskulin. Maskulinitas dan politik memiliki hubungan yang panjang dan erat. Karakteristik yang terkait dengan "kejantanan," seperti ketangguhan, keberanian, kekuatan, kemandirian, dan bahkan kekuatan fisik, memiliki, sepanjang sejarah, telah mengonstruksi perspektif dunia bahwasanya dunia internasional merupakan dunia dominan maskulin. Kathleen Newland dan Rebecca Grant pada akhirnya mengkritisi konsep positivisme yang diyakini tidak menyertakan pengalaman perempuan dalam subjek penelitian para peneliti (Alami, 2010). Studi hubungan internasional merupakan studi yang luas, membahas berbagai bentuk permasalahan seperti keamanan, perdagangan, politik, dan bahkan isu global. Oleh sebab gender telah menjadi isu global, maka gender merupakan isu yang pantas untuk dipelajari oleh para penstudi HI. 

Ketidaksetaraan gender pada dasarnya masih banyak terjadi di dunia, bahkan di sekitar lingkungan manusia sehari-harinya. Meski istilah gender tidak merujuk pada satu pihak, namun kenyataan berkata bahwa perempuan merupakan objek utama dalam terjadinya situasi ketidaksetaraan gender. Contohnya yang paling mendasar di lingkungan sehari-hari adalah bagaimana lingkungan memperlakukan perempuan sebagai opsi kedua dalam kegiatan rumah tangga. Lelaki diyakini sebagai pemimpin keluarga yang memiliki otoritas tertinggi, sementara perempuan hanyalah asisten. Perempuan di Indonesia khususnya sering kali mendapat doktrin bahwa perempuan hanya bertugas di rumah atau di dapur saja, mereka setiap harinya dihadapkan dengan berbagai bentuk tugas rumah seperti mencuci, menyapu, memasak, dan mengurus anak. Padahal, kodrat seorang perempuan hanya sebatas melahirkan, mengandung, dan menyusui. Dalam artian, laki-laki seharusnya juga memiliki peran atau membagi peran di rumah tangga dan tidak serta-merta menumpuk tugas kepada istrinya. Rumah tangga merupakan sebuah pondasi awal dari ketidaksetaraan gender, yang kemudian bertransformasi ke bidang lainnya. Seperti pekerjaan, dimana wanita sering kali mendapatkan ketidakadilan dan sering dilupakan tatkala dunia tengah membentuk pengambilan keputusan (Cerrato & Cifre, 2018). Perempuan juga sering kali terpinggirkan, sering pula dilecehkan. Perempuan di sebagian besar masyarakat miskin, hanya sebagai sosok pendukung yang memainkan peran ganda sebagai penyedia bahan pangan; bekerja di sektor pertanian atau sektor informal lainnya dan pengasuh. Oleh sebab itu, perspektif gender hadir untuk memberikan pencerahan dan analisis terkait ketimpangan gender yang masih banyak terjadi di dunia. Ada sebuah perspektif yang menggabungkan antara feminisme dengan isu lingkungan, adalah ekofeminisme yang menurut Francoise D'Eaubonne merupakan penggabungan antara penindasan perempuan dan lingkungan. Perempuan kerap menjadi korban dalam beberapa tindak yang dilakukan oleh patriarki, mereka tidak hanya termaginalkan, tetapi benar-benar terlupakan. Sebab itu, lahir pula gerakan-gerakan perempuan menuntut keadilan dalam setiap aspek termasuk dalam pengambilan keputusan. Dunia harus mengetahui bahwa perempuan tidak harus berakhir dalam kungkung rumah dan dapur, namun juga dapat menjadi agen perubahan dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun