1. Pendahuluan
Penyatuan ideologi dan praktik globalisasi selama dua dekade terakhir telah disertai oleh klaim budaya yang beragam tentang modernitas yang dapat didengar melalui panggilan bagi pengakuan terhadap berbagai modernitas alternatif. Sangatlah ironis bahwa modernitas yang terglobalkan atau modernitas global ini justru mempertanyakan modernitas layaknya suatu konsep budaya yang koheren. Ketika globalisasi modernitas mengikis sentralitasnya agar menjauh dari akar Eropa/Amerika-nya, maka epistemologinya juga kehilangan hegemoninya, dan jatuh ke dalam parokialisme sebagai produk salah satu budaya dari banyak lagi komponen budaya penyusun modernitas.
Teori HI ini tanpa terkecuali juga termasuk dalam kondisi modernitas yang seperti ini. Sejak 1990-an, pertanyaan tentang budaya telah tampil mengemuka dalam diskusi HI. Para pendatang baru bagi Teori HI, seperti para akademisi RRT (Republik Rakyat Tiongkok), telah mengualifikasi keinginan mereka untuk berpartisipasi dalam diskursus global HI dengan syarat bahwa pandangan dan konsep mereka terakomodasi dalam diskursus tersebut.
2. Inti
Ada ironi dalam studi HI di RRT. Sama seperti cendekiawan Eropa/Amerika saingannya, para cendekiawan Tiongkok juga ingin mengglobal. Namun, globalisasi ini tidak mengandung pemaknaan yang sama bagi hal-hal yang disoroti. Bagi para cendekiawan Eropa/Amerika, globalisasi teori HI berarti memadukan di dalamnya berbagai perbedaan, termasuk karakteristik Tiongkok, demi membuat Teori HI universal. Sudah jelas bahwa HI Di RRT adalah disiplin ilmu baru yang banyak digunakan namun sedikit saja klaim orisinalitas yang dapat di buat untuknya.
Namun demikian, situasi ini berubah drastis sejak 1980-an, ketika HI mulai menjadi disiplin ilmu yang otonom. HI yang awalnya hanya ada di dua universitas dengan jurusan “Urusan Luar Negeri” kemudian dipersatukan di akhir tahun 1980-an bersama-sama dengan mencakup semua teori barat yang memang sudah mapan di bidang HI. Pada tahun 1999 Gerald Chan menjelaskan bahwa Teori HI Tiongkok pada dasarnya hanya akan menambahkan secara marginal dan melengkapi teori-teori yang sudah ada serta sekadar membuat Teori HI lebih pluralistik, representatif dan lebih menarik seperti di negara-negara lainnya. Hal itu dapat memberikan penjelasan bahwa itu adalah konsekuensi dari ketertinggalan waktu masuk displin HI ke RRT.
Kebanyakan analis, entah dari Tiongkok maupun asing, yang berfokus pada perkembangan disiplin HI di negeri tirai bambu ini, sepakat bahwa patahan besar pada 1980-an antara periodisasi teori pra-HI dan pasca-HI disertai oleh asumsi teleologis bahwa para cendekiawan Tiongkok harus mengikuti jalan tidak terelakkan dari masa lalu revolusinya menuju integrasi lebih besar dengan teori ilmiah “Barat”. Mungkin memang benar ini penyebabnya tertapi juga tidak, tetapi para analis ini paham bahwa patahan ini dan efeknya yang membuat kontradiksi terabaikan merupakan ciri umum semua masyarakat pasca-sosialis. Rujukan pada “Karakteristik Tiongkok” langsung memunculkan pemikirannya tentang “sebuah tradisi HI yang independen yang disadarkan pada tradisi filosofis yang unik”, meminjam kata-kata Waever.
Mungkin lebih adil jika dikatakan bahwa masyarakat Tiongkok memiliki sikap yang lebih ambivalen terhadap tradisi daripada pemujaan terhadap tradisi barat. Lalu dalam diskusi belakangan tentang Teori HI di RRT, Zhao Kejin dan Ni Shixiong menulis bahwa “Tidak peduli apa pun negeri atau wilayahnya, semua orang semestinya mematuhi kaidah universal perkembangan sejarah”. Namun, karena setiap negeri menempati posisi geografis berbeda-beda, mereka harus mencari kaidah khusus mereka sendiri dan mengonstruk teori sesuai dengan karakteristik mereka.
Dengan kata lain, jauh dari kata anomali, HI di Tiongkok dapat dilihat sebagai contoh bukan kegagalan teori melainkan satu lagi tambahan bagi “kondisi Rashomon” yaitu istilah yang dirujuk dari film yang digarap Akira Kurosawa di mana setiap saksi terhadap kejahatan memiliki kisah yang berbeda untuk diutarakan, yang mempresentasikan bahwa tidak terlalu banyak keretakan Teori HI sebagai suatu pengenalan terhadap patahan yang sudah lama ada, yang padanya retakan baru ditambahkan ketika modernitas menjalani fragmentasi dalam proses globalisasinya.
3. Kesimpulan
Tidak perlu diragukan lagi bahwa dunia intelektual HI Tiongkok sama seperti di tempat-tempat lain dimana pun, terbuka terhadap kritik terkait penundukan ideologi di bawah kebijakan yang berubah-ubah seiring dengan perubahan pemimpin negaranya. Kendati demikian, cukup jelas bagi para pemikir kritis HI secara umum bahwa sejumlah kritik yang sudah diarahkan terus-menerus terhadap HI di Tiongkok adalah karakteristik HI itu sendiri pada umumnya, yang merupakan bidang yang terpilah secara mendalam bukan hanya di sepanjang pemilahan ideologis, melainkan sesuai dengan gaya nasionalnya.