Bila menjadikan sepak bola sebagai ladang bisnis dan tempat mencari makan, keuntungan, kepentingan pribadi/kelompok/golongan, hingga kendaraan politik, apalagi tidak berangkat dari pelaku asli sepak bola (mantan pemain/pelatih, pendidik/pembina/pemilik wadah sepak bola akar rumput), maka segala perilakunya kepada sepak bola dan para pelaku aslinya, tidak memakai hati.
(Supartono JW.07012025)
Mengamati berita di berbagai media massa baik dari dalam negeri mau pun manca negara, pun mengikuti reaksi publik sepak bola dunia di dalam media sosial, sejak Erick Thohir memecat Shin Tae-yong (STy), seharusnya, Erick Thohir tergerak pikiran dan hatinya. Meneladani menjadi orang yang pandai bersyukur atas kehadiran STy dan sumbangsihnya bagi persepak bolaan Indonesia.
Tidak pakai hati, tidak bersyukur
Hingga detik ini, terkait respon publik, saya menyimpulkan, berbagai pihak dibuat kebingungan atas keputusan PSSI yang memecat STy. Bahkan STy pun dipecat hanya dengan Surat Pemecatan yang dikirim PSSI melalui manajer Timnas. Bukan disampaikan langsung oleh Erick Thohir. Ini jauh dari sopan. Tidak beretika dan tidak bermoral.
Seolah STy tidak ada harganya. Seperti sampah. Habis manis, sepah dibuang. Sementara di berbagai media sosial (medsos) sudah tersebar berita dan foto-foto yang mendeskripsikan betapa akrab Erick Thohir berjabat tangan dengan para kandidat pelatih baru yang diburunya.
Wahai publik sepak bola nasional, beginilah gambaran asli bila seseorang menjadikan sepak bola hanya sebagai ladang bisnis dan tempat mencari makan, keuntungan, kepentingan pribadi/kelompok/golongan, hingga kendaraan politik, apalagi tidak berangkat dari pelaku asli sepak bola (mantan pemain/pelatih, pendidik/pembina/pemilik wadah sepak bola akar rumput), maka segala perilakunya kepada sepak bola dan para pelaku aslinya, tidak memakai hati.
Miris atas sikap Erick, yang setali tiga uang dengan para oknum yang katanya pengamat sepak bola nasional, tetapi tidak pernah menjadi pemain bola, tidak pernah jadi pelatih, ada yang katanya pelatih, tapi bukan sepak bola, tidak pernah punya SSB/Klub, tapi bicaranya lebih hebat dari para pelaku asli sepak bola.
Sebab, bukan pelaku asli sepak bola, maka mereka pun sama dengan Erick, memperlakukan pelaku sepak bola tidak pakai hati. Bukannya malah memberi contoh, mmemberikan keteladanan menjadi orang yang pandai bersyukur atas kehadiran STy dan sumbangsihnya bagi persepak bolaan Indonesia.
Banyak pihak yang bingung mengapa Erick jadi seperti tidak punya pendirian? Bahkan ada yang berspekulasi, jangan-jangan para pemodal/cukongnya Erick yang mengendalikan Erick, dan Erick tidak bisa menghindar/mengelak/membantah.
Berbagai pihak pun berpikir, bahwa para mafia yang lama tidak dapat makan dari sepak bola, sudah kegerahan dan kelaparan, jadi eksis lagi demi dapat makan dari sepak bola.