Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Menulis di berbagai media cetak sejak 1989. Pengamat Pendidikan Nasional dan Humaniora. Pengamat Sepak Bola Nasional. Praktisi Teater.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apakah Saya Makhluk Sosial?

28 Desember 2024   11:07 Diperbarui: 28 Desember 2024   11:42 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Supartono JW

Refleksi 2024 (6)

Sudahkah Saya Memenuhi Syarat sebagai Makhluk Sosial?

Manusia sebagai makhluk sosial, bila kecerdasan spiritual (SQ), intelegensi (IQ), personalitynya (EQ) mumpuni serta kompeten dalam soft skill, maka bersosial, berderma, berbagi, menjadi bermanfaat, dapat di semua ruang kehidupan, bukan hanya pada kegiatan yang bertema agama. Menjadi sponsor atau donatur, juga tidak harus produknya nyambung atau tidak nyambung dengan kegiatan yang membutuhkan bantuan. Semua tergantung niat atau tidak. Apa yang kita tanam, itu yang akan kita petik.

(Supartono JW.28122024)

Sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makna kata makhluk di antaranya sesuatu yang dijadikan atau yang diciptakan oleh Tuhan (seperti manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan). Sementara arti kata sosial adalah berkenaan dengan masyarakat, suka memperhatikan kepentingan umum (suka menolong, menderma, dan sebagainya).

Gabungan kata makhluk dan sosial, dipahami bahwa manusia sebagai makhluk sosial adalah manusia yang hidup berdampingan dengan manusia lain dan tidak bisa hidup sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia membutuhkan kehadiran orang lain untuk mencukupi kebutuhannya.

Sesuai makna makhluk sosial tersebut, apakah sepanjang kita masih berkesempatan hidup di dunia, atau sepanjang tahun 2024, kita sudah tergolong makhluk sosial? Lalu, apakah di lingkungan kita bahkan di negara ini, Republik Indonesia, ada orang yang dapat kita teladani sebagai makhluk sosial?

Jawabnya banyak. Mereka, kebanyakan malah berasal dari rakyat jelata (rakyat biasa), bukan dari elite negeri, orang-orang yang berpartai politik, orang-orang yang memiliki jabatan, kedudukan, kekuasaan yang seharusnya amanah, juga bukan dari para orang kaya baru yang mendapatkan harta dan kekayaan dengan segala cara.

Golongan mereka, malah banyak diketahui menggunakan agama, jabatan, kedudukan, kekuasaan, dan lainnya hanya sebagai kedok. Malah rela menelanjangi dirinya dengan menanggalkan etika dan moral.

Jangankan menjadi makhluk sosial, mereka malah dapat disebut sebagai sampah sosial. Karena menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan keuntungan demi kepetingannya  seperti cara TSM, KKN, oligarki, hingga dinasti, dan korupsi menjadi andalan atau program utama. Uang rakyat pun diakui sebagai uang pribadi saat "dibagi/disumbankan" pada momentum yang sudah direncanakan. Untuk tujuan apa.

Bahkan, rakyat jelata pun tidak kaget, saat ada berita orang dengan jabatan penting, malah menggelapkan/korupsi/menyelewengkan dana CSR atau Corporate Social Responsibility, yang seharusnya dialokasikan perusahaan untuk kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat, lingkungan, dan pemangku kepentingan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun