Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Menulis di berbagai media cetak sejak 1989. Pengamat Pendidikan Nasional dan Humaniora. Pengamat Sepak Bola Nasional. Praktisi Teater.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Menjadi Pribadi yang Tak Degil dan Memiliki Hati Nurani

1 Desember 2024   22:46 Diperbarui: 1 Desember 2024   22:46 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semoga, saya dan kita semua senantiasa menjadi golongan orang-orang yang dijauhkan dari  sifat dan karakter DEGIL, yaitu tidak mau menuruti nasihat orang lain, keras kepala, kepala batu.

Kecuali manusia yang sudah "mati", hilang nyawa atau hilang mata hatinya, maka manusia yang masih "hidup" ada nyawa dan tidak mati mata hatinya, semua yang terucap dan diucapkan mulut, dikerjakan oleh tangan dan anggota tubuh lain, digerakan atau berasal dari pertimbangan hati nuraninya.

Semakin tinggi kesadaran seseorang, cerdas SQ, EQ, dan IQ, semakin terjaga kata yang terucap dan tindakan yang dibuat. Sebaliknya, semakin degil dan bebalnya hati seseorang, maka semakin jauh  tindakan seseorang dari batas-batas etika dan moral. Kebenaran dan kebaikan tidak lagi sesuai norma dan aturan, tetapi berdasarkan norma dan aturannya sendiri.

Bahkan saat berupaya merebut tahta khalifah (penguasa/raja) hingga mempertahankan sampai meregenerasinya pun dengan menghalalkan segala cara. Urat malu sudah tidak ada dalam kamus hidupnya.

Seperti tidak pernah belajar agama, tidak pernah duduk di bangku sekolah dan kuliah, hingga kecerdasan spiritual (SQ), kecerdasan personality (EQ), dan kecerdasan intelektualnya (IQ), nampak tidak berbekas. Yang terus diasah justru "akal licik."

Terkait dengan hal degil dan matinya hati nurani, rakyat di negeri ini, mengapa tak henti harus menjadi saksi perbuatan degil dan matinya hati nurani?
Persoalan yang perbuat orang tuanya saja, saat bertahta, rasanya akan banyak pihak yang sulit memaafkan, meski rakyat tetap tidak dapat berbuat apa-apa, karena "tembok tebal".

Kini, karena mungkin, program terstruktur, tersistem, dan masif (TSM) sudah digulirkan demi "politik" lima tahun ke depan, maka cara-cara orang tuanya pun diadaptasi dan diaplikasikan untuk mencuci hati nurani rakyat miskin dan menderita (RMM) di momentum yang bisa jadi memang sudah ditentukan. Sebab, RMM adalah sumber perolehan suara, bagian dari prosedur TSM.

Meski ulahnya memicu masalah, pakai membawa-bawa gambar Istana Negara dan menjual namanya untuk mulai ditancapkan di hati rakyat, persis cara yang dilakukan oleh orang tuanya, karena sudah menjadi bagian dari skenario TSM, sepertinya, "teriakan rakyat" yang dapat dianalogikan sebagai nasihat untuk penerus khalifah ini, hanya akan "bak anjing menggonggong, khafilah berlalu".

Yang penting, hati rakyat sudah mulai diangsur, dicicil untuk dibeli. Tidak peduli, tindakannya adalah bagian dari menyalahgunakan hak orang miskin itu. Jahat, sekali!

Bila benar, tindakannya hanya "memanfaatkan" hak orang miskin untuk kepentingan dan pencitraan dirinya, tidak melanggar hukum? Sebab, menggunakan uang rakyat, tetapi atas nama pribadi. Dan, untuk "membeli" suara rakyat lima tahun ke depan, dipersiapkan sejak dini, menggunakan momentum titik-titik "musibah/bencana/dll".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun