Setelah menjalani proses pendidikan, pelatihan, dan pembinaan, hingga siswa/pemain diertakan dalam turnamen/kompetisi "tanpa kecuali", maka baik orang tua atau siswa akan paham kualitas kompetensinya dalam hal sepak bola mau pun pegalaman  melalui permainan sepak bola yang nilai-nilainya sama dengan praktik di kehidupan nyata. Seperti tentang kedisiplinan, konsistensi, tanggug jawab, kerjasama, kerja tim, ketepatan waktu, tahu diri, tahu etika-moral, peduli, simpati-empati, kekeluargaan, kesantunan, budi pekerti, tahu malu, jiwa fairplay, dll, hingga menjadi manusia yang "membumi" dan rendah hati.
Tidak ada iming-iming kepada orang tua dan siswa dapat menjadi pemain klub apalagi timnas. Rapor TIPS siswa/pemain pun tegas mendeskripsikan bagaimana teknik, intelegensi, personality, dan speed bila untuk bergelut dengan sepak bola. Pun bagaimana kira-kira untuk keberhasilan hidup siswa dalam kehidupan nyata di luar sepak bola.
Karenanya, kini alumni wadah sepak bola saya, yang sudah ribuan jumlahnya, lebih banyak berkarier sebagai TNI, Polri, ASN, BUMN, hingga Wiraswasta, salah satunya mengamalkan ilmu kehidupan nyata dari nilai-nilai berkarakter dalam permainan sepak bola.
Orang Eropa?
Hal tersebut, tentu setali tiga uang dengan kenyataan yang saya peroleh di luar Indonesia.
13 tahun yang lalu, Juli-Agustus 2011, dalam satu tugas pekerjaan, di setiap kota, di antarnya: di  Istanbul, Turkiye; Sofia-Viliko Tarnovo, Bulgaria; Kholn, Jerman; Amsterdam, Belanda; Brussel, Belgia; Paris, Prancis; dan Lucerne, Swiss, saya sempatkan bertanya  kepada seseorang. Pertanyaannya, "Mengapa Anda/anak/keluarga/Saudara memilih pekerjaan menjadi pemain sepak bola atau pekerjaan lain untuk menjalani kehidupan agar berhasil?"
Jawabannya, dapat saya simpulkan, semua hampir sama, yaitu:
(1) Sebelum "mereka" melalui masa remajanya, sudah tertemukan arah tujuan hidupnya saat berproses dalam pendidikan formal/nonformal, akan jadi apa.
(2) Orang tua pun dapat melihat arah bakat, kompetensi soft skill dan hard skill anaknya.
(2) Bila dalam proses sebelum melewati fase remaja, ternyata arahnya menjadi pemain bola, didukung oleh rapor prestasinya kemampuan/kompetensi teknik, intelegensi, personality, dan speed (TIPS) dalam hal sepak bola, maka pilihan bekerja sebagai pemain sepak bola adalah tepat. Bila rapor TIPSnya tidak mendukung, maka berpikir bekerja menjadi pemain sepak bola harus ditinggalkan.
Menjadi pemain sepak bola sebagai pekerjaan, tentu bila pada saatnya, kualitas/kompetensi TIPSnya dapat mencapai atau sesuai standar timnas di negaranya, dipanggil dalam skuat timnas adalah tujuan kedua. Tetapi, bila tidak dipanggil timnas negaranya, minimal tetap bertanggung jawab menjadi pemain sepak bola amatir atau prifesional karena sudah pilihan sebagai mata pencaharian.
Bila tidak, wajib segera memilih alternatif pekerjaan lain. Pendidikannya pun disesuaikan dengan arah pekerjaan yang akan dipilih.
Dari kesimpulan jawaban pertanyaan saya, lalu dikaitkan dengan kondisi Indonesia terkini, baik dalam segi kehidupan umum mau pun sepak bola, nampaknya sangat signifikan. Apanya yang signifikan?
Yang signifikan adalah tentang keberhasilan dan kegagalannya.
Di Indonesia, cukup luar biasa kegagalan seseorang yang dipaksakan bekerja di bidang tertentu, tetapi kualifikasi pendidikan dan kompetensinya, tidak memenuhi standar. Ini dapat ditelisik secara akurat di Badan Pusat Statistik (BPS).