Pak Prabowo, Kabinet Gemuk untuk siapa? Yakin demi rakyat Indonesia adil dan makmur? Bukan demi bagi-bagi kebahagiaan dan kepentingan yang mendukung Pilpres 2024. Tapi memboroskan APBN?
Saat akal-akalan, direalisasikan
Akal-akalan demi mengakomodir partai politik pendukung Prabowo-Gibran di Pilpres 2024 lalu, sudah ditunjukan oleh DPR yang juga bagian dari "siapa", menyulap atau bahasa ilmiahnya, politiknya, merevisi Undang-Undang Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara di DPR RI. Dalam revisinya, DPR mengubah prasa jumlah kementerian hanya dibatasi paling banyak 34, menjadi tidak terbatas, sesuai kebutuhan presiden, menjadi terang-benderang.
Apakah sulapan/revisi UU No. 39 itu, DPR yang wakil rakyat, bertanya dulu kepada "rakyat?". Jawabnya, TIDAK. Ini sama dengan sikap Jokowi yang menyatakan bahwa IKN itu bukan ide Jokowi tapi sudah dibicarakan dengan DPR. Rakyat pun bertanya, DPRnya Jokowi, yang mana, ya? Sebab rakyat pun tidak diajak "rembugan" hal IKN, kok!
Terkait Kabinet Gemuk Prabowo-Gibran, apakah Prabowo mendengarkan rakyat? Apa hanya rakyat yang 58 persen? Atau rakyat yang mana? Sebab, sampai sekarang, rakyat Indonesia juga masih bertanya. Apa rakyat yang 58 persen itu "nyata?" Bukan rekayasa?
Namun, merealisasikan UU yang sudah direvisi demi kepentingan bagi-bagi jabatan, Prabowo dalam beberapa hari ini sudah memanggil para calon menteri dan wakil menteri plus calon pejabat lainnya ke kediamannya di Kertanegara yang disemuti awak media.
Hari Rabu (16/10/2024) berbagai media pun sudah meliput di Hambalang, tempat Prabowo memberikan pembekalan kepada para calon menteri/wakil/pejabat di Kabinetnya.
Dari sejumlah nama yang di panggil, sudah teridentifikasi benar bahwa Prabowo memang merealisasikan Kabinet Gemuk, dari 34 Kementerian, menjadi 44 Kementerian, yang saya pikir sebagai pesanan dan ucapan terima kasih/balas budi untuk "yang telah mendukung" di Pilpres 2024.
Apa risiko dari Kabinet gemuk Prabowo?
(1) Latar belakang menteri yang akan mengisi kabinet gemuk Prabowo dipertanyakan. Sebab, sepertinya pengambilan keputusan itu hanya bagi-bagi 'kue' kekuasaan, bukan untuk kepentingan rakyat.
(2) Penambahan jumlah kementerian berpotensi membuat pengambilan kebijakan dan koordinasi menjadi lemah.