Pendidikan hanya tempelan
Anak-anak bersekolah, kuliah, tetapi banyak yang sekadar formalitas demi mendapat ijazah. Prosesnya sekadar tempelan, ingatan, bukan paham, terampil, kreatif, inovatif.
Sebab, di sekolah dan kampus, guru dan dosen juga lebih banyak mengajar, bukan mendidik. Pun tidak berubah meski Kurikilum diganti Merdeka. Tapi gurunya disibukan dengan adminstrasi. Siswanya dibiarkan. Mendidik itu menghasilkan SDM yang tahu etika dan moral. Â Bagaimana dengan SDM yang belajarnya formalitas dapat bersaing di dunia kerja? Bagaimana dapat menjadi pribadi SDM yang dapat diandalkan?
Menjadi orang tua?
Bagaimana menjadi orang tua? Mengurus, mengelola, mengendalikan dirinya sendiri saja gagal. Lihat, dalam timnas sepak bola Indonesia, di semua kelompok umur sampai senior. Juga olah raga lain? Berapa pemain yang cerdas dan berkualitas?
Lihat dalam kehidupan keluarga dan berumah tangga. Dari mana para lelaki yang tidak memiliki SIM, tahu apa keterampilan yang wajib dikuasi seorang laki-laki/suami/menantu? Dari pengalaman, fakta, dan kebutuhan, laki-laki itu wajib  memiliki berbagai keterampilan:
(1) Dalam bahasa (formal dan nonformal)
(2) Bekerja tetap, bekerja sampingan, dll.
(3) Mengelola keuangan
(4) Dalam pemahaman hukum
(5) Pengetahuan umum
(6) Bidang rumah tangga
(7) Memasak
(8) Mengelola dan merawat bangunan dan perabotan rumah.
(9) Seni Hidup Minimalis.
(10) Bierkomunikasi yang baik dan benar.
(11) Dalam tata Krama dan Sopan Santun.
(12) Bermediasi dan bermusyawarah yang efektif.
(13) Memahami orang lain.
(14) Spiritual
(15) Membangun kehidupan perkawinan.
(16) Dalam dasar parenting.
(17) Dalam psikologi anak.
(18) Manajemen Konflik Keluarga.
(19) Bidang akademik
(20) Olah raga
(21) Musik, seni, budaya, dll.
Dari indikator tersebut dapat dipilah dikembangkan apa keterampilan laki-laki bila sudah menjadi suami. Juga dapat dipilah bila hidupnya masih ikut numpang di keluarga istri.
Bila sudah menjadi suami, maka (21) indikator tersebut, laki-laki wajib terampil. Karenanya, akan ada garansi bila sudah memiliki anak, anaknya akan berkeliaran, ikut gerombilan geng/geng motir, ikut tawuran, menjadi preman. Hingga mati sia-sia.
Bila laki-laki sebagai menantu, hidupnya masih menumpang di keluarga istri. Menantu itu wajib dapat mengambil hati menantu (Bapak/Ibu), di antaranya:
(1) Bangun pagi lebih awal dari Bapak dan Ibu menantu.
(2) Membantu merapikan dan membersihkan rumah seperti bersih-bersih kamar mandi, menyapu, mengepel, menyiram tanaman, mencuci piring, membuang sampah, merapikan teras/halaman rumah, merapikan garasi dll.
(3) Bertanya, apa yang bisa dibantu lagi kepada Bapak/Ibu mertua, bila hal-hal dasar sudah dikerjakan.
(4) Selalu sopan dan santun.
(5) Menjadikan rumah mertua istana, bukan hotel yang hanya untuk sekadar numpang tidur dan makan.
(6) Tahu seluk beluk rumah mertua, sehingga semisal ada mati listrik, mati air, rumah bocor, dapat membantu mengatasi.
(7) Dan, tahu anggaran yang dikeluarkan oleh mertua untuk tagihan-tagihan bulanan demi operasional di rumah itu. Dll.
Dari ulasan tersebut, khususnya untuk laki-laki, bila terdidik di dalam keluarga dengan benar dan baik, terdidik oleh lingkungan masyarakat yang benar dan baik, pun dengan pondasi iman keluarga yang kuat, maka akan menjadi generasi penerus keluarga sebagai SDM yang berkualitas.
Secara turun-temurun, akan lahir anak cucu cicit yang dapat diandalkan. Akan menjadi laki-laki berkualitas. Suami berkualitas, dan menantu berkualitas. Meski pun pendidikan formal di sekolah dan kampus masih gagal. Sebab, pendidikan spiritual dan menjadi SDM unggul itu, awalnya, pondasinya adalah di dalam lingkungan keluarga.