pemerintah menyadari, bahwa selain pendidikan formal yang terus tertinggal dari negara lain, pendidikan untuk menjadi orang tua yang benar dan baik pun tidak pernah terpikirkan?Akibatnya, banyak orang tua yang gagal untuk dirinya sendiri. Banyak yang gagal dalam berkeluarga. Pun banyak pula yang gagal mendidik anak-anak yang mereka lahirkan.Â
Apakah selama 79 tahun,Parahnya lagi, hasil belajar di sekolah pun, sampai saat ini masih tergolong banyak  gagalnya. Akibatnya, rakyat Indonesia terus miskin dan menderita. Sementara para elite negeri hanya gemar bancakan uang rakyat, kekayaan alam Indonesia, sampai korupsi.
Menjadi orang tua?
Atas kondisi ini, puluhan tahun yang lalu, di media cetak Ibu Kota, saya pernah menulis artikel tentang perlunya calon orang tua, laki-laki dan perempuan memiliki Surat Izin Menikah (SIM) yang dikeluarkan oleh Lembaga/Institusi resmi pemerintah. SIM ini cara memperolehnya juga sama seperti siswa/mahasiswa memperoleh Ijazah SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi. Ada pendidikannya.
Tetapi jangan seperti cara guru memperoleh Sertifikasi Guru yang caranya justru dibikin mudah demi target kuantitas guru tersertifikasi. Tetapi, yakin tidak akan menghasilkan guru bersertifikasi yang kualitas.
Akibat para orang tua, sebelum menikah, tidak mengantongi SIM, sementara pendidikan formal para calon orang tua di sekolah dan pendidikan di rumah/dalam keluarga juga gagal. Maka secara turun-temurun, semakin banyak produk sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang gagal.
Lihatlah, di level elite, apakah pemimpin negeri ini berhasil memberikan contoh kepada rakyat sebagai keluarga yang berhasil dalam pendidikan SDM dalam keluarga yang tahu etika dan moralitas? Orang tuanya saja tidak berhasil mejunjung etika dan moral, bagaimana anak-anaknya? Andai sebelum menikah memiliki SIM, pun tidak akan menggaransi melahirkan SDM berkualitas yang menjunjung etika dan moral, tahu diri. Dan punya rasa malu.
Panggung kegagalan
Lihatlah, betapa sepanjang waktu, sepanjang masa, +62 tidak pernah sepi dari berita tawuran pelajar/mahasiswa/warga, cermin dari panggung kegagalan. Terus ada geng-geng. Bahkan belakangan anak-anak yang masih bau kencur pun petantang-petenteng di jalan raya, bergerombol. Berboncengan motor tanpa helm, satu motor bertiga sambil mengacungkan senjata tajam rakitan. Tua muda, bermobil, bermotor, senggolan di jalan raya, sikap jagoan dan preman pun yang lebih banyak dapat kita saksikan.
Hampir di berbagai daerah di Indonesia, perilaku ini terjadi. Sangat meresahkan masyarakat. Tujuh mayat pun ditemukan di Sungai Bekasi. Mereka menjadi korban sia-sia. Siapa yang dalam hal ini harus bertanggung jawab? Apakah Polisi? Ke mana para orang tua, hingga anak-anak mereka berkeliaran tanpa kontrol. Gaya-gayaan dengan senjata tajam. Tetapi begitu diketahui menjadi mayat di Sungai, malah bertanya, mengapa anak-anak sampai mencebur ke sungai?
Sejauh ini, apakah kira-kira, Presiden, pemerimtah, DPR, dan stakeholder terkait pernah berpikir sampai sejauh ini?