Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Menulis di berbagai media cetak sejak 1989. Pengamat Pendidikan Nasional dan Humaniora. Pengamat Sepak Bola Nasional. Praktisi Teater.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Agar Terhindar Menjadi Manusia "Palsu"

30 September 2024   19:58 Diperbarui: 30 September 2024   20:05 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Di dunia nyata, apalagi yang kini dicontohkan oleh keluarga pemimpin negeri ini dan oligarkinya, berbagai pihak, baik para ahli, akademisi, praktisi, pengamat, hingga rakyat jelata, menyebut bahwa Indonesia terkini sedang dalam pertunjukan "Drama Kepalsuan", demi untuk kepentingan dan kepentingan.

Karena hal itu yang diteladankan "mereka", dan memberi contoh bahwa perbuatan "kepalsuan, kelicikan", adalah hal yang wajar,  maka rakyat jelata pun ikutan ringan pikiran, kaki, dan tangan bertindak, berbuat, dan bersikap "palsu dan licik".

Palsu dan licik, susah

Jujur, saya beruntung pernah diberikan kesempatan dan dipercaya memerankan "tokoh palsu, licik" sebagai seorang pemimpin kampung di panggung teater Indonesia, dalam Produksi Besar Teater Koma yang dipentaskan di Graha Bhakti Budaya (GBB) TIM, Jakarta.

Ternyata, "menjadi palsu-licik" secara natural, apalagi dalam panggung teater, sangat sulit. Bila tidak dengan usaha dan kesungguhan untuk "cerdas", mustahil lakon dapat saya perankan hingga menyukseskan keseluruhan dari paket pertunjukan itu itu sendiri. Sebab, satu di antara benang merah peristiwa kisahnya, adalah peran yang saya lakonkan sebagai Lurah.

Dalam proses latihan, saat sesi evaluasi, oleh Suhu Nano Riantiarno, saya sempat dibilang "aktor batu". Saya pun paham maksud aktor batu itu. Bahkan atas kesulitan memerankan tokoh ini, saya pun sempat menyerah. Ingin mundur dari kepercayaan, meminta tokoh yang saya perankan diganti pemain lain.

Saat itu, tanpa sepengetahuan yang lain, Mas Nano pun meminta saya luangkan waktu agar dapat berlatih khusus di luar jadwal latihan reguler malam hari), yaitu siang hari, persis setelah jam pekerjaan kantor. Saya pun ikuti arahan Suhu. Ternyata dengan latihan khusus berdua Mas Nano beberapa pertemuan hingga sampai pada bagian detail lakon saya kuasai, di Sanggar Teater Koma, Bintaro, saya pun dianggap lulus untuk memerankan tokoh palsu dan licik itu.

Relevan sekarang

Atas peranan yang saya lakonkan itu, dengan kepalsuan dan kelicikan, ternyata agar dapat memerankan tokoh sesuai tuntutan naskah, pondasi aktornya wajib "cerdas".

Bayangkan! Dalam kisah panggung itu, semua kekisruhan, semua malapetaka, semua bencana, semua kebusukan, peculikan, ketidak-adilan, dan sejenisnya, sayalah aktor penciptanya, otaknya. Tapi diujung kisah. Atas kepalsuan dan kelicikan yang "sukses". Bahkan tanpa ada jejak digital dan tanda-tanda lainnya, saya tetap "selamat", tidak tertangkap atau tidak diadili. Yang jadi korban dan diadili adalah kaki-tangan pelaku kepanjangan kelicikan saya. Saya tetap bersih.

Apakah, kira-kira, tokoh yang saya perankan di panggung teater itu, dan sangat relevan dengan kondisi Indonesia sekarang, otak kelicikannya akan tetap "bersih?" Tidak tersentuh hukum dan keadilan? Waktu akan menjawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun