Melalui momentum Iduladha, adakah kita rasakan peningkatan kualitas diri, berkaitan dengan sikap berkorban? Lalu tertanam  sikap empati, sadar diri, tahu diri, peduli, tidak egois, tidak individualis, mau membantu, tidak gemar mencari enaknya sendiri dan mencari keuntungan sendiri?
(Supartono JW.17062024)
Kata kurban artinya persembahan kepada Allah SWT. (seperti biri-biri, sapi, unta yang disembelih pada Hari Raya Iduladha, sebagai bentuk ketaatan kepada Allah.
Simbol
Iduladha adalah sebuah peristiwa besar yang dialami oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, dimaknai sebagai pesan simbolik agama. Di dalamnya ada pembelajaran tentang;
(1) Ketaqwaan.
Taqwa berkaitan dengan ketaatan seorang hamba kepada Sang Pencipta dalam upaya menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Nabi Ibrahim memiliki tingkat ketaqwaan yang tinggi, sebab dirinya tetap melaksanakan perintah-Nya, sekalipun itu menyembelih anaknya sendiri. Atas ketaqwaan Nabi Ibrahim, kemudian Allah SWT menggantikan anaknya untuk disembelih dengan seekor domba.
Ketaqwaan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail adalah pembelajaran yang sarat makna, sosio-humanis-pendidikan, dan multikultural.
(2) Mengorbankan.
Bila dikaji lebih mendalam, bagi kehidupan manusia di dunia, sejatinya ibadah qurban bukan sekadar berkurban "binatang kurban". Makna lebih luasnya adalah perintah untuk mengorbankan sifat egois, individualis, sikap mementingkan diri sendiri, rakus, serakah, mau enaknya sendiri, memanfaatkan, sekadar mengambil untung dan keuntungan, mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk keuntungan diri, mencari nama, peduli hanya untuk diri sendiri, tidak tahu diri, tidak simpati, tidak empati, dan lainnya dalam kehidupan sehari-hari.
Baik kehidupan pribadi, keluarga, lingkungan kekelurgaan hingga dalam kegiatan kemasyarakatan.
Pertanyaannya, sudahkah saya, kita menjalankan perintah "mengorbankan" itu, dalam kehidupan sehari-hari itu? Lebih dari sekadar berkurban biri-biri, sapi, unta?