Oleh karenanya, masyarakat kemudian menggunakan istilah ini untuk sebutan seperti pergi ke Sriwedari di hari lebaran atau silaturahmi di hari lebaran. Kegiatan Halalbihalal kemudian berkembang menjadi acara silaturahmi saling bermaafan saat Lebaran.
(3) Versi ketiga
Halalbihalal berasal dari KH Abdul Wahab Hasbullah pada tahun 1948. KH Wahab merupakan seorang ulama pendiri Nahdatul Ulama. KH Wahab memperkenalkan istilah Halalbihalal pada Bung Karno sebagai bentuk cara silaturahmi antar-pemimpin politik yang pada saat itu masih memiliki konflik.
Sesuai saran KH Wahab, pada Hari Raya Idul Fitri di tahun 1948, Bung Karno mengundang seluruh tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturahim yang diberi judul 'Halalbihalal.' Para tokoh politik akhirnya duduk satu meja. Setelah itu, berbagai instansi pemerintah di masa pemerintahan Bung Karno menyelenggarakan halalbihalal.
Halalbihalal kemudian diikuti masyarakat Indonesia secara luas, terutama masyarakat muslim di Jawa sebagai pengikut para ulama. Hingga kini Halalbihalal menjadi tradisi di Indonesia.
Dari berbagai literasi, tradisi halalbihalal, ternyata diyakini  sudah ada sejak masa mangkunegara I yang dikenal dengan Pangeran Sambernyawa. Saat itu, untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran dan biaya, setelah salat Idulfitri, Pangeran Sambernyawa mengadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana untuk melakukan tradisi sungkem atau saling memaafkan.
Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam, dengan istilah halalbihalal.
Alhamdulillah, berkat acara Halalbihalal dan Donor Darah IKAGA 2024, saya dapat menjadi saksi betapa vitalnya rasa kepedulian, integritas, dan militansi, sehingga akronim IKAGA yang di dalamnya ada ikatan, benar-benar membuktikan bahwa ikatan itu dibentuk bukan sekadar untuk gaya-gaya-an, tetapi memang untuk tujuan yang mulia dan bermakna.
Sehingga, sebuah kekeluargaan/perkumpulan jenis apa pun yang dibentuk, memang mengikat para anggotanya untuk terus dapat menjaga dan mengontrol diri, sehingga senantiasa tertanam dalam pikiran dan jiwa tentang berpancasila, peduli, integirtas, dan militan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H