Sesuai quote tersebut, sebab saya menyebut lawan Indonesia yang sebenarnya adalah panitia, wasit, Irak, dan diri sendiri. Nampaknya, saya masih melihat ada perbuatan wasit yang sepertinya memang memihak ke Irak.
Delik faktanya, semisal gol pertama Irak, wasit sempat berkoordinasi dengan wasit VAR, sebab gol tercipta dari pemain Irak yang mendapat bola dari rekannya setelah tepisan Ernando malah melambung ke atas. Kondisi tersebut seharusnya pemain Irak yang menceploskan gol dalam posisi sudah terjebak offside, karena berada di depan rekannya yang mengumpan dengan sundulan.
Meski wasit sempat melakukan ricek gol. Ternyata gol disahkan. Padahal posisi pemain Irak yang terindikasi offside, bukan hanya kakinya, tetapi seluruh badan.
Terjadinya gol kedua Irak pun sama, sepertinya, pencetak gol dalam posisi offside. Tetapi wasit utama dan wasit VAR bahkan langsung mengesahkan gol.
Sekali lagi, menurut saya, dua gol Irak, sejatinya patut mendapat perhatian lebih dari wasit VAR. Tetapi, nyatanya, dua gol kemenangan Irak, disahkan.
Atas situasi tersebut, sepertinya memang masih ada skenario dari "panitia" dan "wasit".
Untuk performa Irak sendiri, saya melihat tidak istimewa. Levelnya bahkan jauh di bawah Uzbekistan. Pun di bawah anak-anak Garuda. Jadi, mengapa Indonesia kalah?
Jawabnya, bukan karena Timnas Irak U-23 lebih baik dari Timnas Indonesia U-23, tetapi, selain masih nampak ada "pengaturan dari panitia/wasit secara halus", sejatinya Garuda Muda kalah oleh DIRI SENDIRI.
Indikator KALAH oleh DIRI SENDIRI itu, di antaranya:
(1) Beberapa pemain tampil seperti kaum elite politik Indonesia atau pengusaha yang mengguyur bonus demi mencari panggung dan tebar pesona. Bermain egois dan individualis. Membuang kesempatan mencetak gol, karena tidak membagi bola kepada rekan yang posisinya lebih menguntungkan.
Marselino, Struick, Sroyer, Witan, Â berkali-kali membuang kesempatan untuk mencipta gol karena egois. Sebagai contoh, saat Sroyer membelakangi gawang Irak di kotak penalty, andai Sroyer "cerdas", tentu akan menyodorkan bola ke Nathan yang posisinya lebih menguntungkan untuk mencetak gol, ketimbang memaksakan diri menendang bola yang sudah dapat ditebak, hasilnya melambung.
(2) Dari fakta nomor (1), saya masih melihat beberapa pemain  memang seperti belum maksimal disentuh pedagogi oleh STy. Masih lemah intelgensi dan personality.