Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat pendidikan nasional dan sosial. Konsultan pendidikan independen. Prakitisi dan Narasumber pendidikan. Praktisi Teater. Pengamat sepak bola nasional. Menulis di berbagai media cetak sejak 1989-2019. Ribuan artikel sudah ditulis. Sejak 2019 rehat menulis di media cetak. Sekadar menjaga kesehatan pikiran dan hati, 2019 lanjut nulis di Kompasiana. Langsung meraih Kompasianer Terpopuler, Artikel Headline Terpopuler, dan Artikel Terpopuler Rubrik Teknologi di Akun Pertama. Ini, Akun ke-Empat.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Selamat Ranking Empat, Versus Guinea Jangan Setelan Pabrik

3 Mei 2024   08:36 Diperbarui: 3 Mei 2024   08:37 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sesuai quote tersebut, sebab saya menyebut lawan Indonesia yang sebenarnya adalah panitia, wasit, Irak, dan diri sendiri. Nampaknya, saya masih melihat ada perbuatan wasit yang sepertinya memang memihak ke Irak.

Delik faktanya, semisal gol pertama Irak, wasit sempat berkoordinasi dengan wasit VAR, sebab gol tercipta dari pemain Irak yang mendapat bola dari rekannya setelah tepisan Ernando malah melambung ke atas. Kondisi tersebut seharusnya pemain Irak yang menceploskan gol dalam posisi sudah terjebak offside, karena berada di depan rekannya yang mengumpan dengan sundulan.

Meski wasit sempat melakukan ricek gol. Ternyata gol disahkan. Padahal posisi pemain Irak yang terindikasi offside, bukan hanya kakinya, tetapi seluruh badan.

Terjadinya gol kedua Irak pun sama, sepertinya, pencetak gol dalam posisi offside. Tetapi wasit utama dan wasit VAR bahkan langsung mengesahkan gol.

Sekali lagi, menurut saya, dua gol Irak, sejatinya patut mendapat perhatian lebih dari wasit VAR. Tetapi, nyatanya, dua gol kemenangan Irak, disahkan.

Atas situasi tersebut, sepertinya memang masih ada skenario dari "panitia" dan "wasit".

Untuk performa Irak sendiri, saya melihat tidak istimewa. Levelnya bahkan jauh di bawah Uzbekistan. Pun di bawah anak-anak Garuda. Jadi, mengapa Indonesia kalah?

Jawabnya, bukan karena Timnas Irak U-23 lebih baik dari Timnas Indonesia U-23, tetapi, selain masih nampak ada "pengaturan dari panitia/wasit secara halus", sejatinya Garuda Muda kalah oleh DIRI SENDIRI.

Indikator KALAH oleh DIRI SENDIRI itu, di antaranya:
(1) Beberapa pemain tampil seperti kaum elite politik Indonesia atau pengusaha yang mengguyur bonus demi mencari panggung dan tebar pesona. Bermain egois dan individualis. Membuang kesempatan mencetak gol, karena tidak membagi bola kepada rekan yang posisinya lebih menguntungkan.

Marselino, Struick, Sroyer, Witan,  berkali-kali membuang kesempatan untuk mencipta gol karena egois. Sebagai contoh, saat Sroyer membelakangi gawang Irak di kotak penalty, andai Sroyer "cerdas", tentu akan menyodorkan bola ke Nathan yang posisinya lebih menguntungkan untuk mencetak gol, ketimbang memaksakan diri menendang bola yang sudah dapat ditebak, hasilnya melambung.

(2) Dari fakta nomor (1), saya masih melihat beberapa pemain  memang seperti belum maksimal disentuh pedagogi oleh STy. Masih lemah intelgensi dan personality.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun