Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat pendidikan nasional dan sosial. Konsultan pendidikan independen. Prakitisi dan Narasumber pendidikan. Praktisi Teater. Pengamat sepak bola nasional. Menulis di berbagai media cetak sejak 1989-2019. Ribuan artikel sudah ditulis. Sejak 2019 rehat menulis di media cetak. Sekadar menjaga kesehatan pikiran dan hati, 2019 lanjut nulis di Kompasiana. Langsung meraih Kompasianer Terpopuler, Artikel Headline Terpopuler, dan Artikel Terpopuler Rubrik Teknologi di Akun Pertama. Ini, Akun ke-Empat.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Bola

Setop Menjadi Pengamat/Komentator Sepak Bola "Tengil"

24 April 2024   09:39 Diperbarui: 24 April 2024   09:54 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Supartono JW

Bila apa yang kita tulis, bicarakan, dll adalah hal yang benar, berdasarkan atas asas-asas ilmiah, sesuai aturan alam (Tuhan) dan manusia, disampaikan dengan cara yang cerdas, sopan, santun, benar, dan baik, tentu tidak akan menimbulkan polemik.


(Supartono JW.24042024)

Berangkat dari aktif menulis artikel pendidikan dan sastra, lalu menjadi pengamat pendidikan, karena profesi profesional saya sebagai praktisi pendidikan dan teater.

Lalu, memiliki bekal sebagai praktisi sepak bola dan lisensi pelatih sepak bola. Kemudian mendirikan dan memiliki SSB dan FC, saya pun diminta oleh rekan wartawan olah raga, agar ikut menyumbangkan pemikiran tentang sepak bola di Indonesia, saat suatu ketika saya ikut menyumbangkan pemikiran untuk sepak bola akar rumput dalam Diskusi Pelatih Sepak Bola Akar Rumput yang digagas PSSI zaman Agum Gumelar, di Jakarta, 1999.

Akhirnya, saya pun ikut tercebur dalam hiruk-pikuk sepak bola nasional yang tidak pernah beranjak dari persoalan, masalah, dan benang kusut.

Berikutnya, saat saya sudah menjadi kolumnis sepak bola di Tabloid GO, lalu dianugerahi title pengamat sepak bola nasional oleh redaksi, bukan ngaku-ngaku dan membuat julukan sendiri sebagai pengamat, hingga periode tahun 2020an. Rasanya, saya belum pernah menemukan pengamat sepak bola yang saya bilang "tengil", menyebalkan sikap dan kelakuannya. Terlalu dalam mengkritik pelatih nasional.

Seolah si pengamat tengil ini adalah seorang jagoan dan pahlawan yang tahu segalanya tentang sepak bola.

Saya mengukuti pergerakan pengamat yang saya bilang "tengil" ini, terus berstatmen seperti orang berhutang tetapi tidak ada modal untuk membayar hutang. Yang ada hanya gali lubang tutup lobang.

Lebih jauh, saya juga telusuri profil pengamat "tengil" ini, proses menjadi pengamat sepak bolanya, belum pernah menjadi praktisi sepak bola (baca: bukan pemain sepak bola). Pun tidak menempuh jalur pendidikan formal yang terkait sepak bola atau humaniora.

Jujur, sebagai pengamat sepak bola sekaligus pengamat pendidikan, saya prihatin melihat perilaku pengamat tengil ini. Seolah terus mencari perhatian. Mencari panggung.

Lihatlah, buka mata dan hati, apakah ketengilannya dengan selalu mengkritik pelatih, apa dipandang atau dianggap oleh Erick Thohir? Cuma dianggap angin lalu. Masuk telinga kanan, langsung keluar telinga kiri.

Saran saya, untuk si pengamat yang tidak memiliki basic praktisi sepak bola ini, lebih baik diam. Jangan terus gali lubang tutup lobang atas kontroversi yang terus diciptakan.

Pengamat, komentator karbitan

Jujur, saya bangga, tetapi sekaligus prihatin. Sekarang ada televisi yang seolah ingin disebut sebagai media yang melahirkan komentator sepak bola baru. Tetapi, prosesnya tidak berdasarkan seleksi alam, profesionalitas, dan kompetensi, tetapi karena "ada sesuatu".

Maka, sepak terjang si komentator yang saya sebut karbitan ini, saat memandu jalannya laga, sebab berdasarkan skenario, maka tidak sesuai ekspetasi pemirsa. Bahkan komentator ini, kebanyakan malah mengganggu konsentrasi pemirsa dalam menonton laga, sebab berbicaranya ada yang keluar kontek laga yang sedang dipandu.

Maaf, meski saya baru mendapat julukan sebagai pengamat sepak bola nasional tahun 1999, tetapi hingga di bawah tahun 2020an, saya belum melihat ada pengamat yang sok tahu. Ada komentator karbitan.

Yang pasti, apa pun hasil dari sebuah perbuatan/kegiatan/pekerjaan/dll yang tidak didasari oleh kualitas, kompetensi, profesinoalitas, dan prosesnya instan, menabrak aturan formil, tidak berangkat dari otak yang cerdas dan hati yang bersih, maka hasil dari sebuah perbuatan/kegiatan/pekerjaan/dll itu sangat mudah menjadi polemik dan memicu masalah. Bukan menjadi solusi atau penyelesain masalah.

Ingat dan catatlah! Bila apa yang kita tulis, bicarakan, dll adalah hal yang benar, berdasarkan atas asas-asas ilmiah, sesuai aturan alam (Tuhan) dan manusia, disampaikan dengan cara yang cerdas, sopan, santun, benar, dan baik, tentu tidak akan menimbulkan polemik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun