Mirisnya lagi, di antara persoalan dan masalah yang membuat menjadi perselisihan, dipicu oleh seorang pemimpin negara yang dianggap tidak rida, tidak ikhlas, kekuasaannya diambil oleh pihak lain yang berbeda gerbong.
Kemudian hanya menolong dirinya, keluarganya, oligarkinya, pemodalnya, demi kepentingannya sampai pada tujuan. Tidak peduli meski meletakkan etika dan moral justru menjadi barang murah dan rendah.
Lupa membalas budi
Orang-orang yang dalam perkara duniawi masih tidak rida, tidak ikhlas, dan hanya mengurus kepentingannya sendiri, tidak peduli orang lain, kelurganya, masyarakat, hingga kehidupan berbangsa dan bernegara, karena perilakunya mengingkari hati nuraninya, maka jangankan akan memiliki keridaan dan keikhlasan untuk membalas keridaan, keikhlasan, dan pertolongan Allah yang sudah memberikan kesempatan  hidup di dunia.Terhadap orang lain saja, perilakunya sulit untuk rida, ikhlas, dan menolong.
Orang-orang yang disibukkan dengan perkara duniawi, lupa rida, ikhlas, tolong-menolong, dalam hubungan habluminannas, apalagi dalam hubungan habluminnallah, maka biasanya akan lupa diri, sulit berterima kasih, apalagi membalas kebaikan orang lain/pihak lain. Sebab, sudah menjadi manusia yang tidak pandai berayukur. Karena belum selesai dengan dirinya sendiri. Berpikir hidup di dunia akan kekal. Lupa dan mengabaikan bahwa kematian adalah hal yang paling dekat dan amanah adalah hal yang paling berat dalam hidup manusia.
Bagaimana orang-orang yang tidak pandai bersyukur, belum selesai dengan dirinya sendiri, akan rida, ikhlas, dan memiliki jiwa tolong menolong dengan orang lain? Golongan orang-orang ini, biasanya, meski cerdas akal, tapi miskin hati. Suka dengan perilaku pura-pura buta dan tuli atas kondisi yang terjadi, menyangkut dirinya.
Tidak akan pernah sadar dan menyadari bahwa
Sungguh ketika seseorang berbuat baik pada diri kita, maka ia telah mengorbankan apa yang ada pada dirinya untuk kita apakah berupa tenaga, pikiran, harta, perasaan, waktu, dll. Â
Oleh karenanya, seseorang tersebut yang mencurahkan semuanya itu untuk diri kita atau untuk apa yang kita sukai dengan hati yang tulus, maka orang tersebut  berhak dibalas kebaikannya, disyukuri pemberiannya, bantuannya, pertolongannya.
Dalam keluarga atau masyarakat, biasanya, orang-orang dekatnya, tetangganya, atau yang mengenalnya, akan tahu betul perangai berbuat baik seseorang yang dasarnya rida, ikhlas, dan jiwa penolong, bukan drama, riya, atau ada udang di balik batu.
Berterima kasih atas pemberian orang lain, bukan saja kepada orang yang telah membantu dan memudahkan kita dalam berbagai perkara, adalah perangai terpuji. Menandakan kita sebagai orang yang kaya pikiran dan kaya hati, meski tidak kaya harta, kedudukan, dan jabatan. Menandakan kita tergolong orang yang rida, ikhlas, dan tahu tolong-menolong.
Allah SWT, berfirman (artinya):
"Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)." (Ar-Rahman: 60)
" Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah  penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu. (An-nisa : 86)