Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Menulis di berbagai media cetak sejak 1989. Pengamat Pendidikan Nasional dan Humaniora. Pengamat Sepak Bola Nasional. Praktisi Teater.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

1445 H (19) Berprestasi dengan Naturalisasi

29 Maret 2024   06:54 Diperbarui: 29 Maret 2024   06:56 884
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Supartono JW


Kurikulum Merdeka sudah sah menjadi Kurikulum Nasional mulai tahun ajaran 2024/2025. Dengan itu, adakah garansi pendidikan akan bangkit, tidak terkendala masalah klasik. Haruskah dunia pendidikan kita menaturalisasi guru, seperti PSSI menaturalisasi pemain agar berprestasi?

(Supartono JW.29032024)

Di tengah ibadah Ramadan 1445 Hijriah, hari ke-19, saya potret kisah dunia pendidikan Indonesia yang selama ini terus tercecer dari negara lain. Bahkan dari negara Asia Tenggara yang dulunya, mereka belajar dari Indonesia. Tetapi kini mereka malah sudah meninggalkan Indonesia dalam banyak hal.

Oleh karenanya, saya sebut, setelah melalui berbagai tahapan dan ujian, Kurikulum Merdeka resmi ditetapkan sebagai kurikulum nasional mulai tahun ajaran baru 2024/2025.

Namun, implementasinya tetap bergantung pada kesiapan satuan pendidikan di jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, hingga pendidikan menengah. Ada masa transisi hingga maksimal tiga tahun ke depan.

Penetapan Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum nasional ini mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum Pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah. Peluncuran Permendikbudristek yang menjadi payung hukum diberlakukannya Kurikulum Merdeka menjadi kurikulum nasional, oleh Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim, Rabu (27/3/2024) di acara bertajuk Kurikulum Merdeka untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran, di di Jakarta.

Terpuruk

Hadirnya Kurikulum Merdeka yang kini sudah resmi ditetapkan sebagai Kurikulum Nasional, adalah jawaban untuk mengatasi keterpurukan pendidikan Indonesia.
Terpuruknya pendidikan di Indonesia selama ini, sejatinya akar masalahnya sudah teridentifikasi secara terang benderang, siapa yang menjadi biang keroknya. Di mana letak benang kusutnya.

Pemerintah pun, sebenarnya sudah berupaya menangani secara komprehensif, namun hingga kini, masih tetap saya katakan belum lulus dalam mengentaskan sektor benang kusut ini.

Salah satu sumber benang kusut itu, saat Kurikulum Merdeka hadir, di dalamnya ada yang namanya projek P5, yang tentu sudah sangat dikenal oleh guru-guru di sekolah yang dekat dengan Kurikulum Merdeka. Ternyata hanya dengan melihat kasus projek P5, benang kusut itu langsung tampak.

Berdasarkan Panduan Pengembangan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dari Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek, P5 dalam Kurikulum Merdeka adalah projek lintas disiplin ilmu yang kontekstual dan berbasis pada kebutuhan masyarakat maupun berbasis masalah di lingkungan sekolah.

Sebab saya ikut membantu beberapa sekolah dalam projek P5 ini, saya  mendengar keluhan dari para guru bahwa projek P5, fokusnya justru lebih ke selebrasi, namun kurang menekankan profil Pancasila. Kasihan peserta didik yang kurang mampu dari segi ekonomi, pasalnya projek P5 pasti membutuhkan "modal".

Terkait projek P5 ini, sejatinya adalah projek yang sangat mudah dan strategis sekaligus dapat membuktikan bahwa  para guru dapat mengeksplorasi diri dan menularkan kepada pesarta didik dengan modal dasar kekuatan kompetensi gurunya. Menjalankan projek P5 Pun bisa saja, gurunya tanpa harus menguasai IT dan dunia digital, teknologi terlebih dulu. Tetapi faktanya, bagaimana projek P5 dijalankan?

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 pasal 8, kompetensi guru meliputi kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang akan didapatkan jika mengikuti pendidikan profesi.

Sementara seorang guru penggerak, harus kompeten, mampu, merancang strategi pembelajaran yang efektif dan menarik. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi, membuat konsep pembelajaran yang unik, serta mengembangkan keterampilan inovatif dan kreatif.

Nah, menjalankan projek P5, "Modal" itu adalah kompetensi guru atau pun guru penggerak yang dipertaruhkan untuk pengembangan diri sehingga mampu dalam imajinasi, kreativitas, dan inovasi. Artinya, melaksanakan projek P5, meski betul membutuhkan "modal" (baca: uang). Tetapi "modal" yang lebih mahal adalah kompetensi gurunya. Apakah yang sekarang sudah memiliki embel-embel guru penggerak, benar-benar tergaransi bahwa mereka adalah guru yang kompeten?

Di luar sekadar projek P5, hadirnya Kurikulum Merdeka juga membuat guru-guru berteriak. Sebabnya karena masih terkendala dengan kompetensi, IT, dan dunia teknologi, tetapi sudah harus berkutat dengan Kurikulum Merdeka, yang untuk menjalankannya, para guru benar-benar harus sudah lulus kompetensi guru, menguasai IT, dan teknologi, yang memang sesuai dan menyesuaikan dengan zaman.

Di atas (baca: pemerintah/Kemendikbud Ristek) ekspetasi tinggi. Di bawah (baca: guru) belum sepenuhnya tergarap hal kompetensinya, penguasaan ITnya, teknologinya. Tetapi Kurikulum Merdeka dengan berbagai bebannya, harus dijalankan. Kini sudah disahkan sebagai Kurikukum Nasional yang akan berlaku mulai tahun ajaran baru 2024/2025.

Sampai di sini paham ya. Paham juga kan, bahwa sebenarnya, para guru berteriak bukan saja menyoal projek P5, tetapi juga berteriak bahwa perannya malah jadi sekadar administrator, bukan pengajar atau pendidik. Sikap para guru pun, pasrah.

Oh ya, dalam konteks ini saya berbicara tentang guru seluruh Indonesia, ya. Sampai pelosok-pelosok. Bukan guru yang sudah kompeten, mendarah daging dengan IT atau pun dunia teknologi.

Analogi sepak bola

Atas situasi ini, saya pun berpikir, apakah untuk meningkatkan pendidikan Indonesia, karena secara umum, benang kusutnya masih pada kompetensi guru. Apa perlu dihadirkan di Indonesia Program Naturalisasi Guru?

Lihat, Timnas Indonesia baru berdaya menekuk Timnas Vietnam 3 kali berturut-turut dalam ajang Piala Asia dan Kualifikasi Piala Dunia. Pertanyaanya, yakinkah tanpa tambahan pemain naturalisasi, Timnas Indonesia dapat menekuk Vietnam yang kini merosot di posisi kedua Asia Tenggara di ranking FIFA dan tanpa pemain naturalisasi?

Apakah kemenangan Timnas Indonesia atas Vietnam hasil kompetensi pelatih Shin Tae-yong (STy)? Atau sebab kompetensi naturalisasi? Bila saya ibaratkan STy adalah Kurikukum Pendidikan, lalu pemain naturalisasi adalah guru. Maka, Apakah kemenangan Garuda karena Kurikulum (baca: STy)? Atau karena kompetensi pemain naturalisasi? Sebelum ini, tanpa pemain naturlasasi, apakah STy dapat menang atas Vietnam?

Dari analogi tersebut, dapat disimpulkan, sekompetensi atau sebagus atau sebaik apa pun pelatih/kurikulumnya, bila pelakunya pemain/guru yang menjadi ujung tombak pelaksanaan strategi dan taktikal pelatih/kurikulum tidak kompeten, Timnas tidak bisa menang/pendidikan Indonesia tetap terpuruk.

Haruskah, Nadiem Makarim meniru Erick Thohir, melakukan naturalisasi guru agar Kurikukum Merdeka yang sudah resmi menjadi Kurikulum Nasional mulai tahun ajaran baru 2024/2025, dapat berhasil membuat pendidikan Indonesia naik pangkat, peringkat?

Erick Thohir tidak berpikir mendongkrak prestasi Timnas dengan pendidikan dan pembinaan sepak bola lokal mulai akar rumput, tetapi melakukan jalan pintas mencomot pemain naturalisasi agar sepak bola nasional berprestasi. Karena sadar atas potensi dan kompetensi pemain lokal, yang memang mustahil dapat bersaing sekedar di level Asia Tenggara. Meski ada pembinaan dan kompetisi. Akan lama dan bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, menunggunya.

Bila Kurikulum Merdeka yang sudah menjadi Kurikulum Nasional, tetap dengan ujung tombak lokal, dan ujung tombaknya tidak diasah dengan benar dan baik, bagaimana?

Untuk itu, di hari ke-19 ibadah Ramadan 1445 Hijriah ini, mari kita berdoa,  
"Ya Allah, jadikanlah aku di bulan ini lebih bisa menikmati berkat-berkat-Mu dan mudahkanlah jalan-ku untuk mendapat kebaikan-kebaikannya. Jangan Engkau haramkan aku untuk menerima kebaikan-kebaikannya. Wahai Pemberi Petunjuk kepada jalan yang terang."

Dengan doa tersebut, semoga diberlakukannya Kurikulum Merdeka menjadi Kurikulum Nasional, kita semua khususnya dan umumnya dunia pendidikan Indonesia, senantiasa dapat menikmati keberkahan dan dimudahkan mendapat kebaikan, dan tidak diharamkan untuk menerima kebaikan-kebaikan dan petunjukNya. Aamiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun