Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat pendidikan nasional dan sosial. Konsultan pendidikan independen. Prakitisi dan Narasumber pendidikan. Praktisi Teater. Pengamat sepak bola nasional. Menulis di berbagai media cetak sejak 1989-2019. Ribuan artikel sudah ditulis. Sejak 2019 rehat menulis di media cetak. Sekadar menjaga kesehatan pikiran dan hati, 2019 lanjut nulis di Kompasiana. Langsung meraih Kompasianer Terpopuler, Artikel Headline Terpopuler, dan Artikel Terpopuler Rubrik Teknologi di Akun Pertama. Ini, Akun ke-Empat.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

1445 H (12) Membenarkan yang Salah, Membaikkan yang Buruk

22 Maret 2024   01:09 Diperbarui: 22 Maret 2024   04:32 971
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Supartono JW

Dalam suasana makan itulah, A menggunakan momentum untuk menyelidik semua hal, demi kebersamaan selalu terjalin. Pun dapat menilai perkembangan anaknya dalam pendidikan.

Awalnya, dua anaknya sekolah di tempat yang sama saat duduk di bangku SMP. Dan, setiap di meja makan, menyoal kisah pendidikan anaknya, A tidak pernah menemukan hal yang negatif. Kedua anaknya selalu cerita semua kejadian di sekolah, termasuk semua gurunya, baik-baik saja.

Tetapi di balik itu, A heran, mengapa nilai akademik kedua anaknya tidak menonjol alias standar-standar saja. Tidak jauh dari nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan sekolah. Hal itu terjadi sampai anak pertamanya lulus SMP.

Suatu hari, saat anak pertamanya sudah menempuh pendidikan di SMA, ternyata, anak kedua yang masih SMP, di meja makan ceritanya tetap sama. Tidak pernah mengeluh tentang keadaan dan kondisi di sekolah termasuk sikap guru-gurunya. Semua gurunya disebutnya, baik.

Tetapi anak pertamanya justru berubah. Di meja makan mulai mengeluh keadaan sekolahnya. Terutama mengeluhkan tentang guru-gurunya yang sudah tidak sebaik saat di SMP. Kalau datang agak terlambat ke kelas langsung dihukum. Bila lupa tidak mengerjakan tugas atau PR, baju tidak dimasukan, kaos kaki, sepatu, dll pasti bila tidak sesuai aturan kena masalah dan dihukum.

"Mengapa adik tidak pernah ada masalah dengan guru di sekolah?" Papa tidak mempersoalkan nilai akademik yang di dapat Adik hanya dekat dengan KKM. Tapi kalau semua gurunya baik, logikanya nilai akademik Adik lebih tinggi dari KKM? Selidik A.

"Guru Adik semua baik Papa. Tidak mengerjakan tugas/PR dll, tidak ada hukuman, kok?" Jelas Adik polos.

Terkait anak kedua ini, A juga melihat sikap dan perilakunya juga tidak bertambah tertib. Meremehkan masalah. Tidak cekatan. Malas. Tidak disiplin, kurang bertanggung jawab, kurang mandiri, tidak kreatif,  ada sombongnya, dll. Padahal saat kedua anaknya dulu sama-sama masih SD. Keduanya selalu mengeluh tentang sekolah dan guru-gurunya saat di meja makan.

Tetapi pribadi kedua anaknya berkembang, bertambah baik, disiplin, bertanggung jawab, nilai akademiknya di atas rata-rata. Padahal selalu mengeluh, kesal, sebal, bosan dengan sekolah dan gurunya, dan lainnya.

Kini, setelah masuk SMA, anak pertamanya kembali bersikap seperti saat masih di SD. Tetapi adiknya justru tambah "ngawur" dalam hal sikap, perbuatan (attitude), kurang bertanggung jawab, kurang disiplin, dll

Ternyata sekolah dan guru yang dianggap benar dan baik adalah sekolah dan guru-guru seperti di SMP. Sementara, sekolah dan guru-guru yang tidak benar dan tidak baik itu, sekolah dan guru-guru saat anak-anak sekolah di SD dan SMA.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun