Tetaplah berdoa untuk diri sendiri, meski masih "serba kurang" (baca: harta dan tahta) tetapi tetap berupaya untuk menjaga kekayaan pikiran dan hati. Sehingga tetap menjadi manusia yang tawadu, rendah hati dan pandai bersyukur. Dijauhkan diri ini dari watak Kurawa dan Sengkuni.
(Supartono JW.01032024)
Kehidupan di dunia, seharusnya dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk berbuat kemaslahatan diri dan orang lain. Sehingga menjadi tabungan amal untuk kehidupan yang abadi, kelak.
Sayang, faktanya banyak manusia yang justru memanfaatkan waktu di dunia, yang ibarat "sekadar minum air seteguk", justru digunakan untuk berfoya dalam panggung sandiwara.
Bila tidak ada yang menasihati
Terjerumusnya manusia dalam perbuatan yang mudarat, yang teridentifikasi malah banyak dilakukan oleh manusia-manusia yang mengerti aturan dalam agama, undang-undang, hukum, norma, adat istiadat, tradisi, dan budaya, yang di dalamnya sarat nilai etika, dan moral.
Di negeri ini, juga sedang terjadi sandiwara yang kata berbagai pihak terstruktur, tersistem, dan masif dilakukan tanpa malu-malu oleh orang yang sedang memegang amanah menjadi pemimpin bangsa.
Peranan
Jujur, meski saya hanya sekadar  rakyat jelata, tetapi dalam pentas panggung sandiwara, beberapa kali saya dipercaya oleh salah satu sutradara teater terhebat di negeri ini, untuk memerankan tokoh Penasihat Raja dan Semar.
Di panggung sandiwara itu, rasanya seperti nyata, bahwa Raja adalah tetap manusia biasa. Manusia yang tetap butuh bantuan, nasihat, arahan, dalam menjalankan segala kebijaksanaannya, tindakannya, keputusannya, titahnya.
Setali tiga uang, dalam kehidupan sandiwara pewayangan, Semar bertindak sebagai pengasuh golongan kesatria (baik), sedangkan Togog sebagai pengasuh kaum kurawa, raksasa (jahat). Dapat dipastikan anak asuh Semar selalu dapat mengalahkan anak asuh Togog. Hal ini sesungguhnya merupakan simbol belaka. Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan.