Manusia yang kaya pikiran dan kaya hati, akan melakukan sikap, perbuatan, kegiatan, hingga pekerjaan dan lainnya, yang ditekuni, jalani, apa adanya, wajar. Sesuai aturan dan norma. Tidak sebagai "topeng".
(Supartono JW.26022024)
Memahami berapa persen rakyat Indonesia yang sudah terdidik, sepertinya hanya sedikit rakyat Indonesia yang tahu tentang ini?
"Berpendidikan tinggi. Cerdas IQ dan EQ. Beragama dengan benar dan baik. Menjalankan kehidupan di lingkungan keluarga, masyarakat, dan kehidupan bernegara dengan adat istiadat dan budaya sesuai norma. Tidak culas, tidak licik, tidak bertopeng, tidak memihak kepentingan, adalah MUSUH TERBESAR "PENJAJAH" (baca: orang yang menguasai, menindas dan sebagainya)."(Supartono JW.26022024)
Berikutnya, ada pertanyaan:
(1) Apakah sikap, perbuatan, kegiatan, hingga pekerjaan dan lainnya, yang saya tekuni, jalani, nampak bermaslahat, padahal hanya "topeng"? Sebab, ada visi-misi dan tujuan terselubung untuk kepentingan pribadi demi jabatan, kekuasaan, dan harta.
(2) Berapa persen, saya "berbagi" dari harta yang saya dapatkan, untuk kemaslahatan masyarakat/umat sepanjang masih diberi nafas hidup?
(3) Berapa persen saya menjadi orang yang bertanggung jawab atas kewajiban-kewajiban kepada pihak lain, sementara saya sudah mendapatkan hak?
(4) Berapa persen dari setiap sikap, perbuatan, kegiatan, hingga pekerjaan dan lainnya, yang saya tekuni, jalani, saya hanya memanfaatkan dan mengambil keuntungan untuk kepentingan jabatan, kedudukan, kekuasaan, hingga harta yang sejatinya bukan hak saya?
(5) Berapa persen dalam hidup saya, sudah menjadi orang yang tahu diri, tahu berterima kasih, setelah orang lain membantu dalam mendidik dan mengembangan sikap, perbuatan untuk praktik kegiatan, hingga pekerjaan, dan lainnya, yang saya tekuni, jalani?
(6) Adakah saya termasuk orang yang takut kehilangan bukan milik?
(7) Apakah saya termasuk orang yang suka menahan rezeki orang lain? Suka menahan hak orang lain?
(8) Apakah dalam berderma, menyumbang, donasi, dan lainnya, saya orang yang pamrih?
(9) Jangankan uang/harta pribadi, uang/harta orang lain saja diambil untuk kepentingan dan keuntungan pribadi. Apakah saya orang yang seperti itu?
(10) Apakah sekarang saya sudah menjadi orang yang: Hari ini makan apa? Hari ini makan di mana? Hari ini makan siapa? Atau masih menjadi orang yang: Hari ini bisa makan atau tidak?
Masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang sejenis, ada kaitannya dengan istilah topeng. Karena, di masa sulit seperti sekarang, sementara akibat Pilpres 2024 saja, rakyat yang sudah terdidik tahu persis, banyak praktik kepentingan yang menggunakan topeng-topeng, meski mukanya tidak memakai topeng.
Dapat dibayangkan, bagaimana rakyat yang masih belum terdidik tidak akan tergerak pikiran dan hati untuk "suka", bila seorang pemimpin negeri saja, kini di depan mata rakyatnya sudah mengabaikan norma (baca: aturan maupun ketentuan yang sifatnya mengikat suatu kelompok orang di dalam masyarakat), di dalamnya ada etika dan moral?
Sementara, selama ini, meski +62 telah merdeka, bahkan mau 69 tahun lepas dari penjajah kolonialisme, nyatanya lebih dari 60 hingga 70 persen (dari berbagai literasi) rakyat Indonesia tetap merasakan tindakan dijajah. Masih bergelimang kebodohan, kemiskinan, dan penderitaan.
Ini semua terjadi, satu di antara sebabnya, selain karena masih begitu banyak manusia Indonesia yang sikap, perbuatan, kegiatan, hingga pekerjaan dan lainnya, yang ditekuni, jalani, sesuai (10) pertanyaan. Yaitu hanya memikirkan diri sendiri (baca: dinasti, keluarga, kelompok, golongan, oligarki).
Hebatnya lagi, dengan kecerdasan IQ dan EQ yang "mereka" miliki dan dapatkan, justru digunakan untuk hal yang mudarat dan tidak amanah. Menggunakan topeng-topeng kebaikan, yang kebaikan itu hanya dapat dilihat oleh rakyat yang masih bodoh, karena tidak tahu bahwa semuanya adalah bagian dari topeng.
Sesuai KBBI, makna (3) Memikirkan artinya mementingkan dan mengutamakan diri. Topeng sesuai makan (2) adalah  kepura-puraan untuk menutupi maksud sebenarnya, kedok.
Sejatinya, kejahatan yang terstruktur, tersistem, dan masif, tidak sulit untuk diidentifikasi karena dapat dilihat dan dirasakan. Tetapi, selalu akan sulit dilawan/dikalahkan, karena  terstruktur, tersistem, dan masifnya itu.
(Supartono JW.26022024)
Tetapi, jangan hanya berpikir, kejahatan terstruktur, tersistem, dan masif, terjadi hanya dalam kasus Pilpres 2024, ya?
Waspada dan sadari sebelum terlambat, di sekeliling kita ada lho, yang jangan-jangan sedang merencanakan perbuatan jahat yang terstruktur, tersistem, dan masih untuk menyingkirkan kita dari barisan "mereka". Sebab, bisa jadi, kita akan membahayakan mereka.
Jadi, pada hakikatnya, kejahatan terstruktur, tersistem, dan masif itu, seperti hukum alam. Akan ada siklusnya. Berulang dan berulang. Akan ada giliran pelaku dan korbannya.
Pertanyaan penutup, apakah untuk meraih jabatan, kedudukan, kekuasaan, tahta, Â uang dan harta harus dengan bantuan topeng? Mencari hidup berkah, hidup wajar, tanpa topeng, mungkin memang, susah ya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H