Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Menulis di berbagai media cetak sejak 1989. Pengamat Pendidikan Nasional dan Humaniora. Pengamat Sepak Bola Nasional. Praktisi Teater.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Stasiun Televisi, Hadirkan Narasumber Terkait Pemilu yang 4M

21 Februari 2024   13:10 Diperbarui: 21 Februari 2024   13:42 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Supartono JW

Di tengah situasi politik yang masih "panas", sementara sebagian besar rakyat Indonesia tertinggal dalam hal pendidikan. Masih bergelimang kemiskinan dan penderitaan. Stasiun televisi memiliki andil besar dalam membuat rakyat Indonesia terdidik, tercerdaskan, terhibur, dan tercerahkan. Caranya, dalam acara terkait Pemilu, undanglah narasumber yang jelas status dan kompetensinya. Cerdas IQ dan EQ. Dapat mendidik, mencerdaskan, menghibur, dan mencerahkan (4M). Bukan narasumber "tengil" yang abu-abu.

(Supartono JW.21022024)

Dari sebelum, selama, saat pelaksanaan, hingga pasca pencoblosan Pemilu 2024, sudah tidak terhitung, saya aktif menjadi pemirsa berbagai acara terkait Pemilu yang menghadirkan narasumber.

Dari berbagai stasiun televisi yang menayangkan siaran terkait Pemilu, yang rata-rata live, berbagai narasumber yang diundang, statusnya jelas. Ada narasumber dari pihak 01, 02, 03, dan ada pihak netral. Pihak netral ini biasanya diisi oleh pengamat, praktisi, ahli hukum, sampai dari lembaga survei.

Dari sekian banyak acara terkait Pemilu ini, saya dapat mengidentifikasi bahwa narasumber yang seharusnya netral, ternyata di beberapa stasiun televisi, si narasumber malah terkesan memihak kepada salah satu Paslon.

Parahnya lagi, ada narasumber yang orangnya sama, diundang di stasiun televisi berbeda, saat diberikan kesempatan berbicara, gaya bahasa dan isi pembicaraannya tidak sesuai dengan statusnya sebagai narasumber yang seharusnya netral.

Si narasumber ini, hanya berlindung di balik kata pengamat atau praktisi atau ahli atau lembaga survei, tapi isi pembicaraannya sangat terkesan, yang bersangkutan sudah "menerima bagian" dari pihak yang "mengontraknya".

Bahkan, si narasumber yang tingkah dan bicaranya saya sebut "tengil", tidak mendapat respon positif dari audien yang hadir di stasiun televisi.

Dalam KBBI, tengil adalah menyebalkan (tentang sikap dan kelakuan).

Mericek narasumber, sensitif

Kepada pihak stasiun televisi mana pun, di tengah kondisi rakyat Indonesia masih didominasi oleh sebagian besar rakyat yang hidupnya berkubang dalam kebodohan, kemiskinan, dan penderitaan, stasiun televisi yang menjadi salah satu sarana pendidikan, pencerdasan, hiburan, dan pencerahan, mohon di tengah situasi sensitif, sebab proses Pemilu 2024 masih belum usai. Dapat selektif mengundang narasumber. Juga, "ngintip" di stasiun televisi lain, mana narasumber yang dapat bertanggungjawab.

Maaf dan tolonglah, setop mengundang narasumber yang statusnya "abu-abu". Narasumber seperti ini, bahkan rata-rata "tengil", sama sekali tidak memberikan manfaat pendidikan, pencerdasan, hiburan, dan pencerahan politik bagi rakyat.

Berbeda dengan narasumber yang statusnya jelas,  bersikap dan berbicara pun sesuai statusnya, sesuai kompetensinya. Berdebat panas dalam acara, namun kecerdasan intelegensi dan personalitynya dapat diteladani oleh audien dan pemirsa, sebagai pendidikan politik yang benar dan baik. Pun mencerdaskan, menghibur, memberikan pencerahan wawasan.

Jadi, mengingat akhir dari Pemilu 2024 ini masih akan beberapa hari ke depan, dan acara terkait Pemilu 2024 masih akan terus ada, mohon selektiflah dalam memilih dan mengundang narasumber. Setop mengundang narasumber yang tengil.

Membuka wawasan, bukan menyesatkan

Dari sekian banyak acara televisi yang mengundang narasumber,  dari yang saya ikuti pada Senin dan Selasa (19-20/2/2024), ada pendidikan positif dari pernyataan-pernyataan narasumber yang diundang, karena kompeten sesuai dengan statusnya, pun tampil mencerdaskan, menghibur, dan mencerahkan. Sehingga memberikan wawasan tentang kondisi yang bisa jadi benar, tidak menyesatkan.

Beberapa pernyataan yang dapat saya rangkum, narasumber berbicara:

(1) "Ada alat yang maksudnya digunakan untuk membantu rakyat menjadi tahu proses penghitungan hasil Pemilu secara digital dan transparan, tetapi alat itu bermasalah. Seolah malah menunjukan sebagai alat untuk membantu kecurangan."

(2) "Penghitungan dengan alat bantu "itu" diperintah untuk dihentikan. Tetapi, anehnya, penghitungan manual, juga ada yang diperintah untuk dihentikan. Meski tidak ada hubungannya. Kok, bisa?"

(4) "Ada yang bilang, bila menganggap kondisi politik (baca: Pemilu 2024) di Indonesia normal, sejatinya, yang bersangkutanlah yang sedang tidak normal."

(5) "Ada pihak yang mengatakan, kecurangan Pemilu sudah direncanakan secara terstruktur, tersistem, dan masif. Tetapi, kini  rakyat sedang digiring dengan opini penghitungan real count setelah quick qount diminta dihentikan. Agar rakyat lupa dengan kecurangan yang terstruktur, tersistem, dan masif."

(6) "Sekitar 80 persen rakyat Indonesia tidak lulus SMP, sekitar lebih dari 70 persen rakyat yang memiliki hak pilih, tidak paham politik. Tetapi mereka tetap menjadi pemeran utama dalam Pemilu 2024 karena sesuai UU Pemilu, suaranya dibutuhkan untuk memenangkan Paslon."

(7) "Bila ada kecurangan dalam Pemilu, silakan kumpulkan bukti dan laporkan. Sebab, sudah ada jalurnya."

(8) "Rakyat bingung, mau melaporkan hal kecurangan Pemilu ke mana. Karena, semua jalur yang dimaksud, ternyata sudah dikuasai pihak tertentu."

(9) "Apakah benar, sesuai hati nuraninya, rakyat melihat bahwa Pemilu 2024, normal. Tidak ada masalah?"

(10) "Bagaimana membuktikan kecurangan dalam Pemilu, bila kecurangan sudah didesain secara terstruktur, tersistem, dan masif?"

(11) "Apa pun keputusan hasil Pemilu 2024, siapa pun pemenangnya, baiknya semua pihak kembali bersatu, untuk Indonesia."

(12) "Di Pemilu 2024, rakyat sedang ditunjukan, mana sosok negarawan yang layak disebut negarawan. Apa ada atau tidak sebenarnya, sosok negarawan, itu?"

(13) "Pemilu belum selesai, tapi mengapa ada makan malam lagi? Malah bilang sebagai jembatan?"

(14) "Pada akhirnya, siapa pun yang menang, lihat saja, apa yang kalah akan tetap menjadi oposisi? Atau tergoda? Kita lihat dan buktikan!"

(15) "Mau di bawa ke mana negara ini, oleh mereka?"

(16) "Kecurangan bisa didesain, sebab jalur gugatan kecurangan, sesuai peraturan dan UUnya juga ada desainnya, selama ini membuat penggugat sulit memenangi gugatan."

Dll. Masih banyak yang dapat saya diungkap, tetapi, minimal dengan pernyataan-pernyataan tersebut, dapat dijadikan bahan untuk pendidikan dan pembelajaran, sekaligus hiburan dan mencerahkan pikiran dan hati, khusus menyoal Pemilu ini.

Sekali lagi, ayo stasiun televisi, hadirkan, undang narasumber terkait bincang politik-Pemilu yang mendidik, mencerdaskan, menghibur, dan mencerahkan (4M).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun