Menulis untuk berbagi di media, cetak atau online, maka lebih afdol, setiap penulis hendaknya pernah memiliki pengalaman, tulisannya sudah pernah ditayangkan di media cetak atau online yang pakai sistem seleksi, kurasi, moderasi, dan berbayar.(Supartono JW.02012024)
Bagi yang baru belajar menulis, upayakan, tulisannya (opini, artikel, puisi, dll) di kirim ke media cetak yang masih menyediakan ruang atau kolom bagi penulis lepas. Atau upayakan, kirim ke media online yang aturan penayangannya sama dengan media cetak. Melalui proses kurasi dan moderasi.
Bila sampai tulisan berhasil ditayangkan, artinya tulisan "berharga" dan "dihargai".
Siapa pun yang pernah "menulis" lepas, dan ditayangkan di media cetak, artinya tulisannnya sudah "berharga" dan "dihargai". Berharga, karena sebelum laik tayang, tulisan sudah melalui proses seleksi, kurasi, dan moderasi oleh redaktur, sesuai kondisi dan aktualisasi, sesuai kebutuhan, menjadi prioritas, dan sesuai dengan visi, misi, tujuan serta karakter media cetak bersangkutan.
Pada akhirnya, masyarakat pun mengenal istilah kolumnis, praktisi, pengamat, dll, yang disematkan oleh redaktur sebuah media, karena penulis bersangkutan, pada akhirnya menjadi pengisi kolom tetap di salah satu ruang/rubrik, sesuai kompetensinya.
Sebutan praktisi, kolumnis, atau pengamat, bukan gaya-gaya-annya si penulis. Tetapi layaknya siswa/mahasiswa mendapat ijazah karena sudah melalui proses pendidikan sekolah/kuliah.
Sebutan praktisi, kolumnis, atau pengamat, adalah penghargaan/ijazah dari redaksi media, karena kualitas, kompetensi, konsistensi penulis, menulis di ruang yang sama.
Sementara maksud dihargai adalah penulis mendapat ongkos/honor dari tulisannya. Tetapi penghargaan dengan sematan, sebutan sebagai praktisi, kolumnis, atau pengamat, adalah hal yang tidak dapat dibeli.
Seleksi dan tanpa seleksi
Sejak hadirnya media online, perlahan dan pasti, model penayangan sebuah tulisan terbagi dua.