Sebuah proses dalam sepak bola yang dilakukanmelalui pendidikan, pelatihan, pembinaan, kompetisi yang sesuai regulasi, standarisasi, dan akreditasi yang benar, hasilnya gagal/kalah/menang/berhasil/juara, maka di dalam pikiran dan hati yang cerdas, akan tetap merasakan kebanggaan dan kebahagian hakiki. Sebab telah berproses dengan benar dan nyata.Â
(Supartono JW.01012024)
PSSI di bawah kepemimpinan Erick Thohir, banyak disebut oleh berbagai pihak sedang mencari nama dan pengakuan publik sepak bola nasional dan dunia. Karenanya, Timnas sepak bola di bawah asuhan Shin Tae-yong (STy) demi meraih prestasi yang signifikan, gencar mencomot pemain yang ada di manca negara dengan program bernama naturalisasi pemain.
Mengapa demi meraih prestasi, STy yang didukung PSSI, harus melakukan jalan pintas dan instan? Bukan memberdayakan sumber daya manusia (SDM) asli Indonesia yang ditempa dalam pendidikan, pelatihan, dan pembinaan di wadah sepak bola akar rumput yang benar. Berkompetisi dengan benar.
Kemudian secara berjenjang, pendidikan, pelatihan, dan pembinaan naik ke level klub. Hingga kompetisi klub di level usia muda dan senior.
Bila pendidikan, pelatihan, dan pembinaan, hingga kompetisi dilakukan dengan regulasi, standarisasi, dan akreditasi yang benar mulai dari wadah sepak bola akar rumput, klub amatir, sampai klub Liga 1, apakah Timnas Indonesia di semua level masih butuh naturalisasi pemain?
Jawabnya, saat timnas sepak bola Indonesia di semua level sudah tidak butuh naturalisasi pemain, sebab mampu melewati tim Asia Tenggara, Asia, dan Dunia, artinya PSSI dan stakeholder terkait sudah melakukan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan kompetisi yang sesuai regulasi, standarisasi, dan akreditasi secara berjenjang.
Bila timnas ternyata masih butuh naturalisasi, maka ke mana saja PSSI dalam melakukan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan kompetisi yang sesuai regulasi, standarisasi, dan akreditasi secara berjenjang?
Fakta sepak bola +62
Di +62, dengan status profesional, ada klub sepak bola yang tetap memberdayakan pemain hasil pendidikan, pelatihan, dan pembinaannya. Tetapi, seharusnya, semua klub profesional, memang wajib memiliki wadah pendidikan, pelatihan, dan pembinaan pemain. Sehingga di kompetisi level kelompok umur, klub bersangkutan ada pembibitan dan regenerasi.
Bila klub profesional melakukan pembelian pemain pun tidak salah. Tetapi, cara pembeliannya (transfer) harus profesional. Bagaimana dengan klub Liga 1 Indonesia? Apakah semua klub memiliki wadah pendidikan, pelatihan, dan pembinaannya? Apakah membeli/merekrut pemain usia muda untuk berkompetisi dengan transfer profesional?Â
Kondisi yang terjadi dengan klub Liga 1, ada yang memiliki wadah pendidikan, pelatihan, dan pembinaannya. Ada yang tanpa wadah pendidikan, pelatihan, dan pembinaannya. Tetapi, mengapa bisa tetap ikut berkompetisi di level Elite Pro Academy (EPA).
Ini salahnya di mana? Apa PSSI? Apa klub? Apa panitia EPA? Bagaimana regulasi, standarisasi, dan akreditasinya?
Salah kaprah di level klub profesional inilah yang kemudian meracuni wadah sepak bola akar rumput. Padahal, pada awalnya, sejak wadah sepak bola akar rumput bernama SSB resmi digaungkan oleh PSSI zaman Agum Gumelar, SSB adalah wadah  pendidikan, pelatihan, dan pembinaan murni.Â
Namun, seiring waktu, pun karena wadah bernama SSB tidak pernah dibuat regulasi, standarisasi, akreditasi, dan kompetisinya, pegiat wadah sepak bola akar rumput yang tidak memiliki ijazah pendidikan formal dengan kompetensi terkait pendidikan, pelatihan, dan pembinaan anak usia dini dan muda, menjadi biang kerok dari arah wadah SSB yang benar.
Mereka membawa virus dari klub profesional yang sejatinya belum layak disebut profesional, karena mengusung paradigma tim sepak bola yang dikelola/diampunya wajib berprestasi. Setiap bertanding harus menang. Setiap ikut event atau kompetisi harus juara.
Maka tanpa disadari, cara yang dilakukan adalah berbuat jahat atas pendidikan, pelatihan, dan pembinaan murni di yang seharusnya terjadi di SSB, sebagai kawah candradimukanya sepak bola nasional, dengan cara mencabut, mencomot, dan merekrut pemain dari wadah SSB lain, demi SSBnya dapat menang dan menjadi juara kompetisi.
Publik sepak bola nasional yang melek dan cerdas, tentu prihatin. Bahkan tertawa saat sebuah tim SSB atau pakai nama Akademi, Diklat dll, menang dan juara dalam sebuah event atau kompetisi, karena di dalam timnya hanya berisi para pemain hasil dari cabutan dan comotan. Bukan hasil dari pendidikan, pelatihan, dan pembinaan di wadahnya sendiri.
Lucunya, wadah-wadah seperti itu malah tidak malu pamer keberhasilannya di berbagai media sosial (medsos) secara masif dan terstruktur, seperti cara partai dan elite politik saja. Meski mereka juga menyadari, publik sangat tahu cara-cara yang dilakukan wadah tersebut demi meraih kemenangan dan juara. Tetap tidak malu. Malah membanggakan diri secara konsisten.
Apakah PSSI akan tetap bangga seperti wadah sepak bola akar rumput dan klub yang tukang cabut dan comot pemain, timnas menang/berhasil dengan diperkuat deretan pemain naturalisasi? Bagaimana kalau sudah banyak deretan pemain naturalisasi, timnas tetap kalah/gagal?
Yang pasti wadah sepak bola akar rumput, klub, sampai timnas yang sukanya pakai jasa pemain comotan dan cabutan (instan) bila dalam turnamen/kompetisi sampai menang/juara, itu sama dengan tetap membuka borok sendiri.Â
Sebab publik tahu bahwa sejatinya, wadah sepak bola akar rumput, klub, sampai timnas tidak melakukan proses
pendidikan, pelatihan, pembinaan, kompetisi yang sesuai regulasi, standarisasi, dan akreditasi yang benar,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H