Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Menulis di berbagai media cetak sejak 1989. Pengamat Pendidikan Nasional dan Humaniora. Pengamat Sepak Bola Nasional. Praktisi Teater.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Empat Anak Meregang Nyawa dan Kemisikinan Nyata di +62

8 Desember 2023   10:56 Diperbarui: 8 Desember 2023   12:36 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Supartono JW

Orang terdekat, keluarga, teman, sahabat, rekan kerja, tentu akan sangat paham dan memahami, sejatinya diri saya apakah masih terkatogori miskin pikiran, miskin hati, miskin harta, secara fakta? Menjalani hidup dan kehidupan, seeorang manusia wajib berilmu. Jangan sampai kita mempunyai banyak harta, bahkan mampu memberikan warisan tanah, rumah, harta benda serta kedudukan/jabatan kepada anak hingga cucu, tetapi tidak ada ilmu tentang bagaimana menjadi manusia dalam hidup dan kehidupan di dunia sebagai makhluk pribadi, makhluk beragama, makhluk bersosial, makhluk berkeluaraga dan kekeluargaan, makhluk bermasyarakat dan bernegara, makhluk berbudaya, makhluk berekonomi, dan lainnya yang dapat kita wariskan.

(Supartono JW.08122023)


Kisah tragis, empat anak ditiadakan nyawanya, apakah oleh orangtua sendiri atau orang lain, masih dalam penyelidikan polisi, semakin mendeskripsikan betapa "kemiskinan" di Indonesia khususnya, dan dunia pada umumnya, itu sangat berbahaya dan membahayakan bagi kehidupan manusia baik di dunia mau pun untuk bekal menuju akhirat.


Mirisnya, dalam memahami kemiskinan, sampai detik ini, di sebagian besar masyarakat +62, terus berkutat pada paradigma bahwa miskin itu sama dengan kekurangan harta benda atau ketidakmampuan seseorang mencapai suatu kebutuhan hidup tertentu. Ini membuktikan bahwa pendidikan di Indonesia juga masih miskin. Artinya, masih gagal mengentaskan sebagian besar rakyat Indonesia, lepas landas dari kemiskinan akal, kemisikinan intelegensi. Ujungnya berakibat pada lahirnya manusia-manusia yang miskin personality, alias miskin hati.


Kemiskinan-kemiskinan tersebut, secara kasat mata, dapat dilihat di panggung-panggung drama kehidupan sebenarnya, di semua lini dan segi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegera, seperti dari wujud perkataan, sikap, hingga perbuatan seseorang. Dan ini, lebih berbahaya serta lebih membahayakan daripada seseorang hanya sekadar miskin harta.

Hadirnya media sosial (medsos) seperti grup WhatsApp (WA),  juga tanpa disadari oleh para anggotanya, di beberapa grup yang saya ikuti menjadi anggota, justru menjadi panggung pamer kemiskinan pikiran dan kemiskinan hati. Maksudnya sekadar guyon, berbagi, tapi malah pamer bergaya hedon, sok berpendidikan, sok pejabat, sok menjadi orang hebat/penting/orang yang berhasil, dll, tanpa disadari sedang akting menunjukkan dirinya yang miskin intelegensi dan personality. Menyedihkan.


Lebih memprihatinkan lagi, pentas drama kemiskinan-kemiskinan di kehidupan sebenarnya, di semua lini dan segi kehidupan ini dapat ditonton dan ditemukan mulai dari lingkungan terkecil dalam sebuah keluarga, perkumpulan kekeluargaan, lingkungan Rukun Tetangga (RT), lingkungan Rukun Warga (RW), lingkungan pekerjaan, lingkungan yang bernama perwakilan rakyat dan lingkungan pemerintahan mulai daerah sampai pusat, dari rakyat yang tergolong jelata hingga manusia yang dilabeli elite negeri.


Sementara, dalam ajang Pilpres, masyarakat juga mulai dapat membaca, mana para calon dan pendukung yang yang benar-benar kaya pikiran, kaya hati. Mana yang sudah mulai terdeteksi miskin pikiran dan hati, di luar kekayaan harta halal yang mereka miliki. Bukan harta dari drama berbagi karena ada kepentingan-kepentingan.

Memahami miskin
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), miskin adalah tidak berharta, serba kekurangan. Karenanya tidak salah bila sebagian besar masyarakat Indonesia memahami miskin itu, adalah tidak berharta. Padahal ada arti lain dari miskin, yaitu serba kekurangan yang saya artikan bukan sebatas hanya berpenghasilan sangat rendah.
Serba kekurangan, secara fakta akibat dari miskin, maka akan kekurangan di berbagai lini kebutuhan manusia, terutama kurang dalam hal pendidikan yang buntutnya, lahir manusia-manusia yang belum memenuhi syarat sebagai makhluk pribadi, makhluk beragama, makhluk bersosial, makhluk berkeluaraga dan kekeluargaan, makhluk bermasyarakat dan bernegara, makhluk berbudaya, makhluk berekonomi, dan lainnya.


Dalam berbagai literasi dan ajaran agama, juga ditulis serta diajarkan bahwa miskin dapat diindentifikasi sebagai miskin ilmu, miskin akhlak, dan miskin hati.
1) Miskin ilmu. Menjalani hidup dan kehidupan, seeorang manusia wajib berilmu. Untuk memperoleh ilmu, dapat dengan "membaca" atau menempuh jalur pendidikan. Juga dapat diperoleh dari mana saja dan dari siapa saja, terpenting  melalui proses belajar atau pendidikan. Jangan sampai kita mempunyai banyak harta, bahkan mampu memberikan warisan tanah, rumah, harta benda serta kedudukan/jabatan kepada anak hingga cucu, tetapi tidak ada ilmu tentang bagaimana menjadi manusia dalam hidup dan kehidupan di dunia sebagai makhluk pribadi, mahkluk beragama, makhluk bersosial, makhluk berkeluaraga dan kekeluargaan, makhluk bermasyarakat dan bernegara, makhluk berbudaya, makhluk berekonomi, dan lainnya yang dapat kita wariskan, karena miskin ilmu tentang hidup dan kehidupan di dunia dan untuk di akhirat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun