Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat pendidikan nasional dan sosial. Konsultan pendidikan independen. Prakitisi dan Narasumber pendidikan. Praktisi Teater. Pengamat sepak bola nasional. Menulis di berbagai media cetak sejak 1989-2019. Ribuan artikel sudah ditulis. Sejak 2019 rehat menulis di media cetak. Sekadar menjaga kesehatan pikiran dan hati, 2019 lanjut nulis di Kompasiana. Langsung meraih Kompasianer Terpopuler, Artikel Headline Terpopuler, dan Artikel Terpopuler Rubrik Teknologi di Akun Pertama. Ini, Akun ke-Empat.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengapa Kekeringan Orang-orang Rendah Hati, Banjir Orang-orang yang Maunya Dimengerti?

6 Desember 2023   21:06 Diperbarui: 6 Desember 2023   21:23 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi orang yang mengerti orang lain/pihak lain, mendeskripsikan adanya kompetensi keilmuan, pendidikan, keagamaan yang bersemayam . Berpadu, dipraktikkan dalam kehidupan. Tercermin dalam tindakan, sikap, serta perbuatan, karena kekayaan pikiran, kekayaan hati, dan kerendahan hati seseorang.

(Supartono JW.06122023)

Drama tentang orang-orang yang maunya dimengerti alias orang-orang yang egois, individualis, terus terjadi di negeri ini. Dari lapisan rakyat jelata, sampai pemimpin negeri, terus berkolaborasi membikin polusi degradasi moral, terlebih di musim politik sekarang. Perbuatan yang maunya dimengerti bahkan tidak kenal musim. Padahal saat musim hujan, mustahil akan ada kasus kekeringan. Saat musim kemarau, mana mungkin ada banjir? Tetapi mengapa di negeri ini selalu kekeringan akan orang-orang yang rendah hati? Mengapa di negeri ini selalu banjir orang-orang yang maunya dimengerti?

Setiap orang yang telah berilmu, berpendidikan, taat beragama, kemudian kaya pikiran, kaya hati, berbudi, tahu diri, tahu berterima kasih, dan rendah hati, tentu akan dengan mudah dapat mengenali red flag dan toxic kepada orang lain. Sebaliknya, orang-orang telah berilmu, berpendidikan , namun kurang taat pada agama, masih miskin pikiran, miskin hati, miskin berbudi, tahu tahu diri, tidak tahu berterima kasih, dan tidak rendah hati, tentu belum mampu menyadari keberadaan dirinya sendiri. Bahkan akan dengan mudah dan enteng melakukan perbuatan dan tindakan red flag dan toxic kepada orang lain.

Red flag dan toxic

Secara harfiah, kata red flag berasal dari bahasa Inggris. Artinya bendera merah. Sementara dilansir dari laman Collins Dictionary, kata red flag adalah kata yang juga digunakan untuk menunjukkan kondisi berbahaya atau tanda bahwa sesuatu seharusnya dihentikan. Kata lainnya, istilah red flag dapat digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang mencurigakan atau membahayakan.

Sebab, red flag dapat berupa tanda-tanda atau indikator yang menunjukkan bahwa sesuatu tidak seperti yang diharapkan. Istilah ini sering digunakan dalam berbagai konteks, seperti dalam hubungan antar sesama manusia, pekerjaan, bisnis hingga politik.

Red flag juga sering digunakan untuk menunjukkan bahwa sesuatu tidak seperti yang seharusnya dalam bidang bisnis atau politik. Misalnya, red flag dapat mengacu pada kebijakan atau praktik yang tidak etis atau tidak sesuai dengan standar yang diterima secara umum. Bahkan hadirnya media sosial (medsos), membuat para netizen dan anak-anak muda menggunakan red flag sebagai bagian dari bahasa gaul. Kata red flag ini banyak digunakan khususnya dalam konteks hubungan antar sesama. Termasuk dalam konteks hubungan kekeluargaan dan percintaan.

Simpulnya, red flag adalah tanda bahaya atau kondisi yang tidak sehat, tidak beres, tidak kondusif, dll, dalam suatu hubungan. Seperti adanya sekadar memanfaatkan, maunya enak sendiri, maunya untung sendiri, pura-pura tidak tahu, tidak jujur, berbuat bohong dan berbohong, maunya hanya dimengert, posesif berlebihan, kecurigaan dan lain sebagainya. Karenanya, "hubungan/kekelurgaan/pekerjaan/bisnis" dll, sebaiknya diakhiri.

Senafas dengan red flag, toxic adalah sikap beracun yang ada pada orang-orang yang sudah ada bakat red flag. Meningkat dari perilaku negatif red flag, si toxic, biasanya memiliki kepribadian menyusahkan dan memberikan dampak negatif kepada orang sekitarnya serta yang menjalin "hubungan".

Terkait toxic, sama seperti pengidap red flag,  semua orang dapat berpotensi menjadi pribadi yang red flag dan toxic, begitu pun dengan diri kita sendiri. Juga dapat merujuk pada seseorang yang susah merasakan kebahagiaan, suka memandang orang lain miliki sifat yang buruk, hidupnya penuh dengan rasa curiga, suka mengeluh serta jarang merasakan kepuasaan. Tidak pandai bersyukur. Tidak pernah selesai dengan dirinya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun