Padahal pelaksana program, sekolah dan guru belum menguasai program yang dibuat menteri sebelumnya, menteri baru bikin kisah program baru. Jadi, selama 78 tahun Indonesia merdeka, proses pendidikan di Indonesia selalu mengalami perubahan dan amputasi program.
Tidak pernah menyelesaikan masalah, tetapi terus menciptakan masalah baru bagi dunia pendidikan yang terus terpuruk.
Di tataran pelaksana, mulai dari pengawas sekolah, kepala sekolah, guru, yang dipikirkan bagaimana cepat dan bisa naik jabatan dan golongan (PNS/Swasta=sama saja). Yang dicari prestasi pribadi, demi gaji naik, tunjangan bertambah, dan sertifikasi.
Prek, omongan kompetensi guru, kompetensi guru penggerak yang jauh panggang dari api. Prek, omongan peserta didik hanya dapat hasil belajar ingatan/hafalan, bukan didikan sampai siswa mampu memahami, mengaplikasi, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi.
Peserta didik yang seharusnya terus menjadi gelas kosong, ikutan menjadi gelas penuh, karena guru dan sekolahnya meneladani dengan gelas penuh.
Saya ibaratkan gelas penuh itu=sok, artinya berlagak (suka pamer dan sebagainya), merasa mampu dan sebagainya, tetapi sebenarnya tidak.
Sudah teridentifikasi hanya sekadar layak, belum kompeten, sertifikat sertifikasi guru, hanya buat formalitas, tetapi perilakunya malah banyak yang meneladani sok. Bukan meneladani sebagai gelas kosong, tetapi bangga menjadi gelas penuh.
Identiknya, sombong, sok tahu, sok pintar, sok cerdas, sok hebat, sok memahami, sok menguasai, dan sejenisnya.
Itulah fakta di lapangan tentang pendidkan kita yang masalahnya terus membelit ujung tombak pendidikan=guru.
Ayo para guru, mana yang wajib dikedepankan agar tujuan pendidikan tercapai? Menjadi guru yang gelas kosong? Atau gelas penuh? Menjadi guru yang sibuk melengkapi administrasi demi ambisi dan prestasi pribadi? Bukan menjadi guru yang praktisi karena menguasai kompetensi demi berhasilnya peserta didik?
Lihatlah, tema dan makna logo HGN ke-29, itu untuk siapa? Untuk merayakan masa akhir jabatan Nadiem di periode kepemimpinan yang ujungnya juga tidak layak diteladani? Karena malah memikirkan kepentingan diri sendiri?