Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat pendidikan nasional dan sosial. Konsultan pendidikan independen. Prakitisi dan Narasumber pendidikan. Praktisi Teater. Pengamat sepak bola nasional. Menulis di berbagai media cetak sejak 1989-2019. Ribuan artikel sudah ditulis. Sejak 2019 rehat menulis di media cetak. Sekadar menjaga kesehatan pikiran dan hati, 2019 lanjut nulis di Kompasiana. Langsung meraih Kompasianer Terpopuler, Artikel Headline Terpopuler, dan Artikel Terpopuler Rubrik Teknologi di Akun Pertama. Ini, Akun ke-Empat.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

HGN ke-29, Antara Harapan, Kenyataan, dan Prestasi untuk Siapa?

25 November 2023   20:34 Diperbarui: 25 November 2023   20:45 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bentuk hati menggambarkan seluruh komponen pendidikan mulai dari guru, peserta didik, hingga orang tua yang bersinergi menciptakan semangat belajar yang merdeka dan penuh cinta guna memberikan hasil yang terbaik untuk dunia pendidikan di Indonesia.

Dari harapan pemerintah tersebut, terkait tema dan makna logonya, apakah sudah dekat dengan kenyataan yang terjadi di Republik ini? Apakah tema dan makna logo versi pemerintah, tidak jauh panggang dari api? Atau faktanya, kini masih sebatas mimpi di beberapa daerah?

Kenyataan

Ada data tentang guru yang berprestasi. Ada guru yang kompeten. Ada guru yang terus berinovasi. Sampai di zaman Menteri Nadiem sekarang, ada guru yang diembel-embeli sebagai guru penggerak.

Bahwa bila diuji kompetensi guru kembali, dari mereka-mereka tetap akan ada yang lulus dan benar menyandang gelar sebagai guru berprestasi, guru inovatif, dan guru penggerak, kira-kira bagaimana dengan nasib yang tidak lulus? Datanya tetap lebih banyak yang belum lulus.

Di luar itu, juga fakta. Dapat dicek di Badan Pusat Statistik (BPS), masih banyak guru yang tidak kompeten tetapi terpaksa harus mengajar. Hasilnya, dapat kita lihat faktanya sampai detik ini.

Peserta didik tetap sulit terbentuk karakternya, karena tetap saja, banyak guru yang hanya baru sampai pada kemampuan mengajar, bukan kompetensi mendidik.

Tawuran pelajar/mahasiswa yang berkembang menjadi tawuran dan kerusuhan suporter di ranah sepak bola, keributan antar sesama pengguna jalan raya di seluruh negeri, ini di antara bukti, pendidikan di sekolah/kuliah sampai saat ini masih belum sesuai harapan.

Bahkan bila mengacu standar dari penilaian pendidikan dunia, PISA, jangankan di tingkat dunia dan Asia. Tingkat Asia Tenggara saja masih tercecer diurutan buncit.

Mirisnya lagi, pendidikan para orangtua di rumah pun dapat disebut masih gagal. Pasalnya, banyak orangtua yang malah belum pernah makan bangku sekolah. Atau saat para orangtua sekolah, para guru juga masih gagal mendidik. Orangtua justru menjadikan sekolah wadah utama untuk pendidikan anak-anak mereka.

Hasilnya, di Indonesia, banyak orangtua yang saat sekolah masih gagal terdidik. Melahirkan anak-anak menjadi tidak pandai, tidak cerdas mendidik anak-anaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun