Bentuk hati menggambarkan seluruh komponen pendidikan mulai dari guru, peserta didik, hingga orang tua yang bersinergi menciptakan semangat belajar yang merdeka dan penuh cinta guna memberikan hasil yang terbaik untuk dunia pendidikan di Indonesia.
Dari harapan pemerintah tersebut, terkait tema dan makna logonya, apakah sudah dekat dengan kenyataan yang terjadi di Republik ini? Apakah tema dan makna logo versi pemerintah, tidak jauh panggang dari api? Atau faktanya, kini masih sebatas mimpi di beberapa daerah?
Ada data tentang guru yang berprestasi. Ada guru yang kompeten. Ada guru yang terus berinovasi. Sampai di zaman Menteri Nadiem sekarang, ada guru yang diembel-embeli sebagai guru penggerak.
Bahwa bila diuji kompetensi guru kembali, dari mereka-mereka tetap akan ada yang lulus dan benar menyandang gelar sebagai guru berprestasi, guru inovatif, dan guru penggerak, kira-kira bagaimana dengan nasib yang tidak lulus? Datanya tetap lebih banyak yang belum lulus.
Di luar itu, juga fakta. Dapat dicek di Badan Pusat Statistik (BPS), masih banyak guru yang tidak kompeten tetapi terpaksa harus mengajar. Hasilnya, dapat kita lihat faktanya sampai detik ini.
Peserta didik tetap sulit terbentuk karakternya, karena tetap saja, banyak guru yang hanya baru sampai pada kemampuan mengajar, bukan kompetensi mendidik.
Tawuran pelajar/mahasiswa yang berkembang menjadi tawuran dan kerusuhan suporter di ranah sepak bola, keributan antar sesama pengguna jalan raya di seluruh negeri, ini di antara bukti, pendidikan di sekolah/kuliah sampai saat ini masih belum sesuai harapan.
Bahkan bila mengacu standar dari penilaian pendidikan dunia, PISA, jangankan di tingkat dunia dan Asia. Tingkat Asia Tenggara saja masih tercecer diurutan buncit.
Mirisnya lagi, pendidikan para orangtua di rumah pun dapat disebut masih gagal. Pasalnya, banyak orangtua yang malah belum pernah makan bangku sekolah. Atau saat para orangtua sekolah, para guru juga masih gagal mendidik. Orangtua justru menjadikan sekolah wadah utama untuk pendidikan anak-anak mereka.
Hasilnya, di Indonesia, banyak orangtua yang saat sekolah masih gagal terdidik. Melahirkan anak-anak menjadi tidak pandai, tidak cerdas mendidik anak-anaknya.