Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat pendidikan nasional dan sosial. Konsultan pendidikan independen. Prakitisi dan Narasumber pendidikan. Praktisi Teater. Pengamat sepak bola nasional. Menulis di berbagai media cetak sejak 1989-2019. Ribuan artikel sudah ditulis. Sejak 2019 rehat menulis di media cetak. Sekadar menjaga kesehatan pikiran dan hati, 2019 lanjut nulis di Kompasiana. Langsung meraih Kompasianer Terpopuler, Artikel Headline Terpopuler, dan Artikel Terpopuler Rubrik Teknologi di Akun Pertama. Ini, Akun ke-Empat.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Selalu Belajar untuk Tidak Egois

23 November 2023   23:11 Diperbarui: 24 November 2023   07:15 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Supartono JW


Bicara tentang sikap egois, sepanjang manusia masih hidup di dunia, maka drama tentang egois tidak akan pernah habis. Tetapi, sikap egois dapat dikikis dari pribadi-pribadi yang mau menjadi pendengar. Mau belajar. Mau meluangkan waktu untuk merefleksi diri, mau bercermin. Mau menjadi gelas kosong.

(Supartono JW.23112023)

Ironis, bicara hal egois, di +62, orang-orang yang seharusnya menjadi contoh dan teladan, agar rakyat ikut meneladani sikap tidak egois, justru malah bersikap dan berbuat seperti sudah tidak punya mata, telinga, dan hati. Buta mata, tuli, dan buta hati. Egois hanya mementingkan dirinya, keluarga, kelompok, dan kepentingan-kepentingannya.

Egois, sakit jiwa?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata egois berarti perilaku sesorang yang selalu mementingkan dirinya sendiri.

Selain itu, dalam beberapa literasi, ada yang menyebut bahwa orang egois sama dengan penderita penyakit jiwa. Pasalnya, di manapun kita berada, bahkan di tempat yang terburuk sekalipun, bila sistem hati kita benar dan baik, maka perilaku dan perbuatan kita, tetaplah menghasilkan sesuatu yang benar dan baik. Sesuatu kebaikan, kemaslahatan.

Sebaliknya di tempat yang benar dan sebaik apa pun, bila dalam tubuh kita, bersemayam bahkan memiliki sistem hati yang buruk, maka perilaku dan perbuatan kita, wujudnya akan berbentuk  keburukan. Kemudaratan.

Karenanya, orang egois dapat terkategori dalam kelompok orang yang sudah terjangkit penyakit hati. Orang seperti ini, tabiatnya, bila sudah memperoleh kesuksesan, akan lupa diri dan tidak mau bersyukur kepada Tuhan pemberi nikmat. Kebanggaan terhadap dirinya terlalu berlebihan dan merasa dialah yang paling berjasa.  Dalam keseharian ia tidak rela mengakui keberhasilan orang.

Penyakit hati yang disebut egois ini, tidak ubahnya sebagai penyakit sombong karena orang yang egois selalu cenderung lupa diri, tidak pernah mengakui kesalahan, meski telah berbuat salah. Tidak pernah merasa lemah, walau pun sebenarnya lemah dalam berpikir dan lemah hatinya.

Bila ada orang yang fokus untuk merawat diri dan memenuhi kebutuhan serta kesejahteraan diri sendiri, itu adalah hal benar dan baik. Perilaku seperti itu. sangat penting untuk kesehatan mental. 

Namun, bila sikap dan perilakunya lebih dari itu, itulah yang dapat terkategori sebagai egois.

Memastikan, saya egois?

Untuk itu, sejatinya, saya, kita, dapat menilai diri saya, kita, sebagai orang yang egois atau tidak, dengan bertanya kepada diri sendiri. Semisal:

1) Apakah saya ingin diperlakukan dengan baik, tetapi tidak melakukan sebaliknya?
2) Apakah saya suka mengatur dan mengendalikan pasangan, teman, atau orang di sekitar saya?
3) Apakah saya tidak mau mengakui kesalahan atau menerima kritikan?
4) Apakah saya tidak menghargai usaha maupun kerja keras orang lain?
5) Apakah saya merasa bahwa saya selalu benar?
6) Apakah saya orang yang mau meluangkan waktu untuk mendengarkan orang lain? Mendengarkan masukan dan kritik dari orang lain, pihak lain?
7) Apakah saya orang yang belum pernah atau tidak punya waktu ikut mengamati kebutuhan orang di dekat saya, kelurga saya, saudara, kerabat, sahabat, teman, orang lain?
8) Apakah saya orang yang pernah dan selalu ikut merasakan kesusahan, penderitaan, kegagalan yang dialami oleh orang di dekat saya, kelurga saya, saudara, kerabat, sahabat, teman, orang lain? Punya empati?
9) Apakah saya pernah, bahkan sering membantu orang di dekat saya, kelurga saya, saudara, kerabat, sahabat, teman, orang lain, orang yang saya cintai dalam bentuk apa pun?
10) Apakah saya orang yang tidak pandai bersyukur dan tidak atau kurang menghargai, tidak tahu bertereima kasih, tidak tahu membalas budi, tidak peduli kepada orang di dekat saya, kelurga saya, saudara, kerabat, sahabat, teman, orang lain, orang yang saya cintai?

Dari 10 pertanyaan tersebut, bila jawabannya adalah: Ya, maka dapat dipastikan, saya orang egois.

Apakah saya akan tetap bertahan menjadi orang egois? Camkan! Menghilangkan tabiat egois dalam diri tidak mudah. Membutuhkan waktu, proses, latihan, dan pembinaan baik dari diri sendiri atau bantuan orang lain (baca: psikolog). 

Semoga, saya akan selalu belajar untuk menjadi orang yang tidak egois dimulai dari 10 pertanyaan itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun