Kelemahan pemain timnas sepak bola Indonesia yang ditangani Shin Tae-yong (STy) sudah teridentifikasi, lengkap lemah teknik, intelegensi, personality, dan speed (TIPS). Akankah PSSI tetap akan pura-pura buta dan tuli dengan masalah ini. Terus menebar mimpi sepak bola nasional terbang tinggi. Tetapi tidak peduli pada pondasi?
(Supartono JW.20102023)
Haruskah bangga dengan prestasi yang didapat karena melalui jalur potong kompas, karbitan, tidak dari upaya sendiri sesuai jalan yang benar dan baik?
Jelang Piala Dunia U-17 yang tinggal menghitung hari, kejujuran STy, atas nilai rapor TIPS pemain Timnas yang lemah, harus dijadikan pengingat untuk PSSI dan publik sepak bola nasional. Agar Timnas U-17 dapat tampil di hadapan bangsa sendiri, bangsa Asia Tenggara, Asia, dan dunia dengan nilai rapor TIPS yang tidak rendah, tidak memalukan. Aamiin.
Cermin pedidikan kita
Mengapa dunia pendidikan Indonesia terus terpuruk, tercecer, dan tertinggal dari bangsa lain? Bahkan sekadar di lingkungan Asia Tenggara saja, malah hanya sejajar dengan Negara yang melepaskan diri dari +62?
Padahal, di Indonesia ada Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi. Ada anggaran pendidikan yang besar dari APBN. Ada Kurikulum Pendidikannya. Ada Sumber Daya Manusia (SDM). Ada sekolah dan kampus formal, ada guru dan dosen. Ada sarana dan prasarana yang minimal sudah sesuai kualifikasi. Ada infrastruktur penunjangnya, dan lainnya. Semua yang terstruktur dan terprogram ada jatah anggarannya. Kurang apa coba?Â
Tapi sampai 78 tahun usai Republik ini, ternyata pendidikan dan masalah pendidikan di Indonesia terus menjadi benang kusut. Seperti bau kentut di ruang berAC, tidak dibukakan akses bau kentut itu ke luar dari ruangan. Atau memang ada yang sengaja membuat pendidikan tetap terpuruk, agar rakyat langgeng menderita, mudah dibodohi, ditunggangi, dan terus sekadar menjadi alat dan kendaraan kepentingan?
Benang kusut pendidikan di Indonesia, dari berbagai data yang ada, mengerucut pada persoalan lemahnya kompetensi guru/dosen. Ada upaya sertifikasi guru/dosen. Namun, upaya ini pun tidak menggaransi mengentaskan kelemahan kompetensi guru/dosen.Â
Malah ada gaya-gayaan dengan sebutan guru penggerak buah karya dari Kurikulum ala Mas Nadiem. Tapi, apa yang terjadi dengan guru penggerak? Benarkah keberadaannya membantu meningkatkan pendidikan? Ada Modul Ajar, sekadar nama lain dari Rencana Pelaksanaan Pengajaran (RPP), apakah signifikan mengentaskan pendidikan yang terpuruk?
Banyak sebutan guru/dosen hebat. Apakah yang disebut hebat benar-benar hebat? Atau sekadar hanya merasa hebat? Lihatlah output pendidikan kita. Benarkah para peserta didik menjadi manusia yang berkarakter sesuai nawa cita? Benarkah para peserta didik benar-benar tergarap, terdidik, dan terbina di bagian intelegensi dan personality oleh para guru dan dosen? Sejauh mana peserta didik berhasil terdidik dan menjadi manusia Indonesia yang berbudi pekerti luhur, rendah hati?