Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Menulis di berbagai media cetak sejak 1989. Pengamat Pendidikan Nasional dan Humaniora. Pengamat Sepak Bola Nasional. Praktisi Teater.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Kompetisi Elite Pro Academy (EPA), Sudahkah Sesuai Ide, Gagasan, dan Kenyataan?

14 Juli 2023   20:21 Diperbarui: 14 Juli 2023   20:28 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Elite Pro Academy,  yang entah dari sudut mana disebut elite, disebut pro, dan disebut academy, disuruh digulirkan oleh pemimpin PSSI. Inilah saatnya comot-comot pemain. Saatnya seleksi terbuka. Saatnya pemain meminta surat keluar dari SSB. Saatnya memetik bagi yang tidak menanam. Elite Pro Academy yang tidak elite, tidak pro, dan tidak academy, pun hanya diwadahi gelaran turnamen, bukan kompetisi.

(Supartono JW.14072023)

Sejatinya, lahirnya tiga kata: elite, pro, dan akademi yang ditulisnya academy, saya tahu persis latar belakang, maksud, dan tujuannya. Siapa yang punya ide. Siapa yang menggagas, apa sasarannya. Mengapa lahir kata-kata itu.

Sayang, niat benar dan baik dari yang punya ide dan yang punya gagasan, sebab kompetisi berjenjang sepak bola akar rumput (baca: SSB) yang dikelola PSSI hanya bernama Piala Soeratin. 

Itu pun bukan atas nama SSB, tetapi atas nama klub anggota Askot/Askab PSSI, maka menjembatani kekosongan yang ada, plus logika sebuha klub seperti di manca negara, pasti melakukan pembinaan dan kompetisi berjenjang yang di nagara-negara 'sono' namanya academy, jadi ada kompetisi antar academy yang dibina klub. 

Maka, di Indonesia yang budaya dan tradisinya berbeda, dipaksakan pula itu academy dan dilahirkan dengan memaksa situasi dan kondisi yang tidak lazim, tidak ideal, di negeri ini, PSSI menggelar Kompetisi bernama Elite Pro Academi (EPA).

Hanya turnamen, pemain comotan

Sejak pertama EPA digulirkan atas nama kompetisi, ternyata modelnya hanya sekadar turnamen. Peserta EPA yang seharusnya akademi resmi yang dibina oleh klub Liga 1, faktanya lebih banyak klub yang akademinya siluman atau jejadian atau istan. 

Klub yang tidak melakukan pembinaan, bahkan tidak ada wadah akademinya, mau tidak mau wajib ikut regulasi. Dari mana pemain klub yang demikian? 

Apa keberadaan Klub yang tidak punya akademi sudah diidentifikasi oleh PSSI? Lalu, Klub yang comot-comot pemain bagaimana tindakan PSSI selama ini?

Malah, PSSI keluarkan regulasi, pemain comotan klub dari dalih seleksi terbuka dan berbayar. Demi klub mendapat pemain gratis, si pemain wajib meminta surat keluar dari SSB. Itu regulasi yang dibuat PSSI, lho.

Pernahkah EPA dievaluasi oleh PSSI?

Sudahkah hal seperti itu ada evaluasi dari PSSI? Namanya heboh, Kompetisi EPA Liga 1. Pelaksanaannya cuma turnamen antar tim akademi Liga 1 yang benar-benar dibina oleh klub, melawan tim akademi-akademi siluman.

Di mana definisi dari kata elite-nya. Mana realitas pro-nya. Dan, siapa saja klub Liga 1 yang benar-benar punya akademi dan membina. Siapa yang hanya sekadar menjual nama. 

Wadah SSB jadi korban. Begitu ada pemain yang dipanggil Timnas, di rilis PSSI dan media massa, di belakang nama pemain disebut dari klub apa. Hebat, keren.

Apa sulitnya menggelar kompetisi berjenjang?

Sudah saya tulis di surat terbuka 3 untuk Erick Thohir, kompetisi berjenjang sepak bola akar rumput yang benar untuk kondisi Indonesia, itu mudah. Ada kompetisi SSB antar anggota klub Askot dan Askab. Ada kompetisi SSB antar anggota klub Liga 3. Ada kompetisi SSB anggota klub Liga 2. Ada kompetisi SSB anggota klub Liga 1.

SSB di bawah klub anggota Askot/Askab, tentu statusnya berbeda dengan SSB di bawah pembinaan Klub Liga 3, Liga 2, dan Liga 1. 

Dengan demikian, tidak akan ada lagi comot pemain karena semua klub dari tingkat Askot/Askab, Liga 3, Liga 2, Liga 1 wajib membina dengan wadah SSBnya secara berjenjang. Tidak perlu sok-sok-an pakai nama akademi. Kompetisi yang digelar pun benar kompetisi penuh, bukan sekadar turnamen. 

Tahu kompetisi membentuk apa? Membentuk dan mematangkan apa? Minimal teknik, intelegensi, personality, dan speed (TIPS) pemain.

Nantinya harus muncul perbedaan, SSB binaan klub Askot/Askab, SSB binaan klub Liga 3, SSB binaan klub Liga 2, dan SSB binaan klub Liga 1. 

Tidak ada lagi SSB binaan klub Liga 3/Liga 2/Liga 1, bisa ikut kompetisi bareng SSB binaan klub Anggota Askot/Askab.

Kalau demi gengsi, nama SSB kurang keren, lalu diganti akademi, boleh-boleh saja. Jadi, namanya tinggal diubah kompetisi berjenjang akademi klub sesuai strata.

Berikutnya, benahi itu apa SSB dan akademi. Mana yang mau dipakai. Buat regulasinya.

Sampai di sini dulu, Paham, ya.

Saya tersenyum

Menjadi saksi kekacauan pembinaan sepak bola akar rumput Indonesia selama ini, hari ini, Jumat (14/4/2023) saya hanya bisa tersenyum, membaca berita, Ketua Umum PSSI Erick Thohir mengatakan pihaknya sudah bersepakat dengan PT Liga Indonesia Baru (LIB) untuk kembali menghadirkan Elite Pro Academy. Ia pun meminta LIB segera menggulirkan kompetisi usia muda tersebut.

"Sudah ada kesepakatan antara PSSI dan LIB untuk Liga 1 dengan klub-klubnya itu sudah memiliki Elite Pro Academy dan ini akan serius," ujar dia dikutip dari keterangan tim media PSSI, Jumat, 14 Juli 2023.

Bahkan, Erick menyebut PSSI sudah memberikan dana kepada LIB untuk membuat Elite Pro Academy mulai kelompok umur 16 tahun hingga 20 tahun. Untuk itu, kompetisi tersebut wajib dibuat sebagai salah satu wadah pembinaan pemain muda Indonesia.

"Dana yang selama ini dikelola PSSI diberikan ke LIB, tetapi itu tadi, LIB wajib membuat Elite Pro Academy mulai dari U-16, U-18, dan U-20. Jadi ada keberlanjutan di situ," tutur Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu.

Wow, ada kata harus serius. Terus dalam waktu dekat, apa menyiapkan tim kelompok umur bagi Klub Liga 1 yang tidak punya akademi dan tidak membina pemain muda, tinggal sim salabim?

Saya mencatat, Elite Pro Academy terakhir digelar pada Oktober 2022. Kala itu kompetisi digelar dalam tiga kelompok umur, yakni U-14, U-16, dan U-18. Dewa United menjadi juara pada kelompok U-14 setelah mengalahkan Persis Solo 3-1.

Lalu, untuk U-16 dimenangkan Persib Bandung usai menaklukan Persija Jakarta 1-0 di final. Kemudian juara kelompok U-18 adalah Bhayangkara FC yang menang atas Persija Jakarta.

Dari catatan itu, siapa. yang menjadi juara di kelompok umurnya? Dapat diidentifikasi, mana klub yang memang punya akademi, membina, dan membiayai pemain. Siapa klub yang hanya comot-comot pemain? 

Apakah ini sudah dievaluasi PSSI? Mengapa tim ini dan itu yang juara? Mengapa mereka bisa juara, yang lain tercecer?

Maaf, menggebrak boleh-boleh saja. Tapi publik sepak bola nasional punya bukti dan catatan apa yang terus terjadi dengan sepak bola dan PSSI di negeri ini. 

Demi EPA yang tidak EPA, duit PSSI digelontorkan, tapi lihat siapa yang jadi korban. Siapa yang dapat nama secara instan. Lalu, apakah hasil EPA yang sekadar turnamen, signifikan buat antar pemain yang TIPSnya memenuhi standar pemain ke Timnas? 

Lihatlah! Demi nama, mencari pemain Timnas U-17, pakai audisi di 12 kota. Lihat, Timnas Indonesia Putri U-19, tanpa kompetisi malah berprestasi, lho?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun