Wadah sepak bola akar rumput yang tidak pernah disikapi oleh PSSI, di Indonesia terus menjamur tanpa pernah disembur. Berkompetisi pun, operator swasta yang menginisiasi. Tapi, lihatlah, siapa yang memetik?
Drs. Supartono, M.Pd. / Supartono JW. Pengamat, praktisi pendidikan nasional dan sosial. Pengamat, praktisi sepak bola nasional.
Sebuah catatan pekan ke-14 Liga Fair Play (LFP) U-14. Depok, 25 Juni 2023
Tanpa terasa, kompetisi bertajuk fair play yang bertujuan melahirkan bibit-bibit pesepak bola usia muda, yang memiliki jiwa sportivitas tinggi, tinggal menyisakan satu pekan lagi, dari 15 pekan sesuai regulasi.
Namun, setelah sebelumnya ada tim yang tidak dapat melanjutkan kompetisi di pekan ke-8, hingga membuat tim-tim yang belum bertemu, diberikan kemenangan tanpa bertanding (WO). Kebijakan tidak menghapus laga tim tersebut selama tuhuh pekan sebelumnya, diambil atas dasar karena kompetisi ini bertajuk fair play. Praktis sejak pekan ke-8, Liga Fair Play (LFP) U-14 2023 hanya diikuti oleh 15 tim.
Di luar perekiraan, di pekan ke-14 yang tersaji pada Minggu, 25 Juni 2023, di Lapangan Ayo Arena, Sentul City, Bogor ini, nyatanya ada satu tim lagi yang disimpulkan tidak dapat melajutkan ikut kompetisi. Otomatis, pekan ke-14 tim yang seharusnya berlaga melawan tim bersangkutan, juga diberikan kemenangan tanpa bertanding. Kondisi ini, juga berakibat pada pekan terakhir, pekan ke-15 yang akan tersaji pada Minggu, 2 Juli 2023, akan ada dua tim yang diberikan kemengan wo.
Tidak jauh berbeda dengan kompetisi Liga 1 PSSI
Kompetisi LFP U-14 2023, seperti halnya kompetisi yang dihelat oleh operator swasta lainnya, sejatinya dari sisi teknis pelaksanaan kompetisi tidak jauh berbeda dengan kompetisi kasta tertinggi Indonesia yang dikendalikan oleh PSSI. Bedanya, bila kompetisi Liga 1 PSSI yang bergelimang sponsor=uang di dalamnya, secara teknis, berkompetisi secara home-away. Sebaliknya, kompetisi swasta di sepak bola akar rumput (usia dini dan muda) yang diinisiasi oleh operator swasta tanpa gelimang sponsor=uang.
Kompetisi sepak bola akar rumput di Indonesia yang tidak pernah bertuan ini, bahkan sejak PSSI lahir di 1930, akhirnya memiliki tuannya sendiri, yaitu para orangtua siswa yang bahu-membahu menjadi sponsor dan donatur utama. Sejak wadah sepak bola akar rumput bernama Sekolah Sepak Bola (SSB), resmi diperkenalkan di zaman Direktur Pembina Usia Muda PSSI dijabat oleh Ronny Pattinasarany, PSSI di bawah Ketua Umum Agum Gumelar, tahun 1999.
Orangtua siswalah yang akhirnya dengan SSB berdarah-darah menghidupi SSB masing-masing, membiaya siswa ikut festival/turnamen/kompetisi, pun yang digelar oleh pihak swasta. Tetapi, tanpa andil yang signifikan. Tanpa menanam, mendidik, melatih, membina, merawat, saat Timnas membutuhkan pemain untuk kelompok umur, tinggal memetik. Sikap remeh ini pun malah diikuti oleh pengurus PSSI yang saya sebut sangat tidak bertanggungjawab, malah membuat regulasi nyeleneh.