Pelatih=guru. Sepak bola akar rumput, siswanya sama dengan anak-anak seusia sekolah formal yang menjadi pondasi generasi penerus bangsa. Menjadi pelatih mereka, kompetensinya wajib sama seperti kompetensi guru. Sesuai Undang-Undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 pasal 8, kompetensi guru meliputi: kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Masalahnya, sudah ada UU RI nomor 14 tahun 2005 pasal 8 saja, kompetensi guru masih menjadi benang kusut di Indonesia. Pendidikan Indonesia terus tertinggal dari negara lain. Bagaimana dengan kompetensi pelatih sepak bola akar rumput, pondasi timnas sepak bola Indonesia, tetapi belum pernah ada UU yang mengaturnya?
Drs. Supartono, M.Pd. / Supartono JW. Pengamat, praktisi pendidikan nasional dan sosial. Pengamat, praktisi sepak bola nasional.
Sebuah catatan pekan ke-12 Liga Fair Play (LFP) U-14. Depok, 11 Juni 2023
Dalam sepak bola nasional, beberapa pelatih sudah saya kategorikan sebagai pelatih yang saya nilai sudah memiliki kompetensi layaknya kompetensi guru. Mumpuni dalam kepribadian, sosial, dan profesional, pun memiliki pedagogi ala mereka sendiri, seperti Indra Sjafri, Fakhri Husaini, serta Bima Sakti, sehingga mampu membawa Timnas yang diasuhnya berprestasi menyabet trofi untuk negeri ini.
Pelatih di LFPÂ
Seperti dalam sepak bola nasional, di kancah Kompetisi Sepak Bola Usia Dini bernama Liga Fair Play (LFP) U-14 yang dihelat oleh Indonesia Junior Soccer League (IJSL), setelah sebelas pekan dilalui, dari 16 tim peserta, saya mendapatkan data bahwa semua pelatih yang mengasuh tim masing-masing, saya sebut sudah mempraktikkan pedagogi ala mereka. Sementara dari sisi kompetensi kepribadian, sosial, dan profesional, belum dapat saya nilai.
Indikatornya, sesuai catatan dan data yang ada, 16 pelatih telah memberikan kesempatan bermain kepada seluruh siswanya yang didaftarkan sebagai pemain di kompetisi LFP ini. Artinya, dari satu indikator tersebut, dapat saya simpulkan bahwa semua pelatih telah mampu mendidik siswanya dalam proses latihan, lalu memberikan kepercayaan tanpa kecuali kepada semua siswa yang didaftarkan, bermain dalam kompetisi LFP.
Sesuai regulasi, di setiap laga, setiap tim minimal wajib membawa 16 pamain dan maksimal 18 pemain. Dengan jumlah maksimal rata-rata 30 pemain yang didaftarkan oleh setiap tim dalam satu musim kompetisi 2023, maka pelatih sudah pasti menggunakan prinsip dan metode yang benar (padagogi) dalam proses mendidik dan melatih, demi seluruh siswanya mendapat kesempatan bermain secara bergiliran di setiap pekan.
Sehingga, proses pendidikan, pelatihan, pembelajaran yang diterima oleh siswa dalam latihan, tidak hanya sebuah formalitas di dalam kelas latihan, namun pelatih yang sama dengan guru itu, secara otomatis sudah pasti melakukan pendalaman karakter siswa, terutama dalam hal teknik, intelegensi, personality, dan speed (TIPS), secara benar dan obyektif. Tidak subyektif.
Sebab sesuai regulasi, dalam setiap laga 2 x 30 menit, setiap siswa minimal wajib dimainkan selama 15 menit, maka hak siswa pun diberikan secara adil oleh pelatih saat diturunkan dalam permainan. Bahkan, ada pelatih yang sering memberikan kesempatan kepada pemain yang nilai rapor TIPS-nya tinggi, di waktu 15 menit terakhir babak kedua. Sementara siswa yang nilai TIPSnya masih dapat berkembang, diberikan kesempatan bermain sejak menit awal atau menit ke-16 atau menit ke-31, bukan di kesempatan terakhir, yaitu menit ke-46.
Strategi tersebut, di antara tujuannya ada yang demi penyegaran, demi membantu kinerja tim, demi mempertahankan keunggulan permainan atau keunggulan gol, atau demi membantu membalas gol, yang tidak melulu berorientasi tim wajib menang. Hal ini, tentu bukan asal-asalan dilakukan oleh pelatih. Tetapi pelatih telah mempertimbangkan secara matang sesuai analisis TIPS siswa sesuai hasil latihan, analisis calon lawan, komposisi tim, hingga strategi dan taktikal bermain. Hal yang sangat posistif adalah, disetiap pikiran dan jiwa siswa, tertanam paradigma bahwa, di dalam tim, tidak ada pemain cadangan. Semua siswa adalah pemain utama.
Pelatih=guru
Dari penilaian saya terhadap para pelatih di kompetisi LFP IJSL U-14, selama 12 pekan, sebab pelatih=guru, maka saya kembali menegaskan bahwa sebagai pelatih sepak bola di akar rumput, siapa pun dia, sejatinya wajib kompeten seperti syarat kompetensi sebagai guru. Tetapi, bila empat syarat kompetensi sebagai guru, belum dapat dipenuhi oleh seorang pelatih sepak bola di akar rumput, minimal seorang pelatih wajib tahu, memahami, dan mempelajari tentang pedagogi.
Pedagogi dapat dipahami sebagai strategi atau metode mengajar. Menurut Prof Poerbakawatja (1976), pedagogi mempunyai dua arti, yaitu praktik, cara mengajar dan ilmu pengetahuan mengenai prinsip-prinsip atau metode mengajar. Pedagogi juga merujuk kepada penggunaan metoda yang tepat dalam strategi mengajar.
Sehubungan dengan strategi mengajar (mendidik, melatih, membina), filosofi yang diterapkan oleh guru=pelatih, biasanya akan sesuai kompetensi jenjang pendidikan formalnya, plus lisensi kepelatihannya. Hal ini sangat signifikan pengaruhnya terhadap keberhasilan dalam mendidik, melatih, membina siswa.
Latar belakang pendidikan akan berpengaruh kepada pelatih dalam membawa dirinya serta membawa siswa dapat berhasil atau gagal. Sebab, sepak bola akar rumput=pendidikan anak usia dini dan muda, pelatihnya pun wajib memiliki kompetensi pendidik, sama dengan guru.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 pasal 8, kompetensi guru meliputi kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang akan didapatkan jika mengikuti pendidikan profesi. Seseorang yang menggeluti profesi sebagai guru/pelatih sepak bola, kompetensi profesionalnya adalah lisensi kepelatihan. Namun, untuk memperoleh lisensi kepelatihan sepak bola, khususnya di Indonesia, seorang calon guru/pelatih sepak bola tidak memperoleh asupan ilmu, teori, dan praktik kepribadian, pedagogik, dan sosial. Sehingga, PSSI wajib tahu bahwa dunia sepak bola akar rumput Indonesia yang selama ini tidak diurus dengan benar, terus dalam kondisi berbahaya. Pondasinya sementara dididik oleh pelatih-pelatih yang belum memiliki syarat kompetensi sebagai guru yang sama dengan pelatih.
Padahal, sepak bola begitu diminati oleh anak-anak di Indonesia. Bahkan para orangtuanya pun menjadi sponsor utama. Orangtua menjadi garansi tertutupnya biaya operasional SSB setiap latihan/setiap minggu/setiap bulan. Orangtua juga menggaransi menutup biaya kesertaan SSB dalam festival/turnamen/kompetisi. Namun, keberadaan pelatih sepak bola di akar rumput juga terus menjadi benang kusut, ada yang hanya memiliki lisensi pelatih tanpa didukung oleh pendidikan formal berijazah sarjana. Bahkan banyak yang tidak berpendiidkan formal tinggi, lisensi pelatih pun tidak dikantongi, tetapi berani-beraninya menjadi pelatih sepak bola di akar rumput.
Lihatlah faktanya, wadah sepak bola akar rumput di Indonesia memang terus menjamur. Mati satu tumbuh seribu. Tetapi PSSI membiarkan keberaan wadah sepak bola akar rumput tidak bertuan. Tidak ada kepastian fungsi dan kedudukannya. Tidak ada regulasinya. Tidak ada standarnya. Tidak pernah ada kompetisi resmi atas nama SSB. Piala Soeratin pun atas atas nama Klub yang dimulai dari tingkat Askot/Askab, lalu Asprov, baru nasional.
Masalah pelatih sepak bola di akar rumput, tidak ubahnya seperti di sekolah formal. Guru masih menjadi faktor utama benang kusut pendidikan di Indonesia karena berbagai masalah yang menderanya. Status pendidikan Indonesia pun terus tercecer dari negara lain, terutama malah tercecer dari negara-negara di Asia Tenggara. Salah satu sebabnya, banyak guru yang hanya memenuhi satu syarat, yaitu memiliki ijazah sarjana. Tetapi belum kompeten sesuai syarat kompetensi guru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H