Mengampu sepak bola akar rumput, wajib kompeten
 Kembali ke sahabat dari Pontianak ini. Sesuai dengan pendidikan terakhirnya, kiprah, dan pemahamannya tentang sepak bola akar rumput, sahabat ini pun menyadari kesalahannya, yaitu nama tim yang dibuatnya bukan SSB tetapi FC (football club) padahal hampir lebih dari delapan bulan mendidik, melatih, dan membina anak-anak usia di bawah dua belas tahun. Saya bangga, kenal dengan sahabat dari Pontianak ini.
Sepak bola milik voters, kendaraan politik, rakyat sapi perah
Saya bersyukur, sejak saya menggeluti sepak bola akar rumput yang terus menjadi benang kusut di negeri sendiri, sahabat-sahabat saya dari seluruh penjuru Indonesia, sudah melakukan komunikasi dengan saya. Berbagi keprihatinan yang sama. Tetapi apa daya. Sepak bola Indonesia, di PSSI hanya milik para voters. Bukan milik rakyat. Tetapi, mendatangkan Timnas Argentina, rakyat juga yang membeli tiket. Memutar Kompetisi, para sponsor mau menjadi sponsor klub pun, sponsor melihat rakyat yang mendukung klub.
Jadi, publik sepak bola nasional sampai pegiat sepak bola akar rumput yang rakyat, tak ubahnya sapi perah di kancah politik Indonesia yang hanya dibutuhkan suaranya untuk kursi jabatan/kedudukan/kekusaan. Setelah itu, dilupakan. Begitu pun dalam sepak bola nasional, rakyat juga sapi perah bagi PSSI dan Klub demi menghadirkan sponsor atau mencari nama, menjadi kendaraan untuk kepentingan-kepentingan, termasuk politik.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H