Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat pendidikan nasional dan sosial. Konsultan pendidikan independen. Prakitisi dan Narasumber pendidikan. Praktisi Teater. Pengamat sepak bola nasional. Menulis di berbagai media cetak sejak 1989-2019. Ribuan artikel sudah ditulis. Sejak 2019 rehat menulis di media cetak. Sekadar menjaga kesehatan pikiran dan hati, 2019 lanjut nulis di Kompasiana. Langsung meraih Kompasianer Terpopuler, Artikel Headline Terpopuler, dan Artikel Terpopuler Rubrik Teknologi di Akun Pertama. Ini, Akun ke-Empat.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Selebrasi Gol yang Cerdas, Benar dan Baik, Tentu Sesuai Laws of The Game

12 Juni 2023   12:55 Diperbarui: 12 Juni 2023   13:06 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya kutip dari Jurnalis The Athletic, Billy Munday, mengungkapkan bahwa selebrasi dalam dunia sepakbola tak mengalami perkembangan berarti hingga tahun 1950-an. Sebelumnya, selebrasi gol adalah luapan kegembiraan secara spontan. Mengangkat tangan sambil berteriak "Yes!" sambil memukul tinju ke udara adalah ekspresi yang paling naluriah dari manusia yang berhasil memperoleh sesuatu. Untuk kasus ini, adalah berhasil mencetak gol.

Mengapa Munday mengangap tahun 50-an sebagai lompatan terbesar selebrasi sepakbola? Bisa jadi, alasannya karena siaran langsung melalui televisi yang dimulai pada Piala Dunia 1954. 

Ketika itu, beberapa negara menyiarkan event tersebut langsung dari Swiss, mulai dari Jepang (NHK), Belgia (RTBF dan VRT), Cekoslovakia, Denmark, Jerman Barat, Jerman Timur, Prancis, Italia, serta Norwegia melalui stasiun televisi nasional masing-masing. Separuh Eropa hingga ke Asia Timur menyakskan laga Piala Dunia dari layar kaca di rumahnya. Selanjutnya, ternyata butuh waktu hingga 3 dekade, untuk membawa selebrasi sampai ke tingkat yang lebih tinggi.

Adalah Piala Dunia 1982 yang dihelat di Spanyol, yang kemudian menjadi saksi sejarah bagaimana selebrasi gol menjadi lebih individual. Gelandang Timnas Azzuri, Marco Tardelli melakukan selebrasi ikonik berteriak sambil berlari hingga dikejar rekan-rekannya. Selebrasi ini pula yang direplikasi oleh Fabio Grosso kala timnas Italia berhasil menumbangkan Jerman di laga semi final Piala Dunia 2006. Karenanya, selain menyoal water break yang menjadi regulasi FIFA, sebelumnya, Italia pun tercatat sebagai pelopor selebrasi yang dibuat oleh Tardelli.

Bicara selebrasi, tentu seluruh publik sepak bola sejagat tidak akan lupa dengan gaya selbrasi modern ala Ronaldo atau CR7. Namun soal kreativitas, sejak sejarah selebrasi dimunculkan, wakil Afrika, Kamerun masih boleh disebut juaranya. Catatannya, keikutsertaan Kamerun kedua di turnamen terakbar sepakbola sejagad tahun 1990 di Italia, menjadi batu loncatan dalam soal perayaan gol. Kapten tim sekaligus pemain paling gaek kala itu, Roger Milla melakukan selebrasi dengan cara unik: Berlari menuju tiang pojok lapang, kemudian mengangangkat tangan kanannya sambil menggoyangkan pinggulnya!

Empat tahun kemudian, pada ajang yang sama, lahir pula salah satu selebrasi paling diingat sepanjang masa. Bebeto, striker timnas Brazil, berlari ke pojok lapangan sambil memeragakan gerakan menimang-nimang bayi diikuti sesama rekan-rekannya. Hal tersebut ia lakukan mengingat anaknya yang juga baru lahir. Sejak itu, perayaan gol tidak pernah lagi menjadi hal yang biasa saja. Selebrasi gol adalah ungkapan kegembiraan yang juga ditambahi unsur yang lebih personal bahkan suatu pesan tertentu.

Dikutip dari buku The Expression of the Emotions in Man and Animals, karya Charles Darwin yang ditulis pada 1872 (kemudian dirilis ulang pada 1998), tertulis bahwa Darwin menganggap wajah sebagai media ekspresi emosi yang paling unggul pada manusia, dan mampu mewakili emosi utama dan variasi halus dalam diri masing-masing. Gagasan Darwin tentang ekspresi wajah dan laporannya tentang perbedaan budaya menjadi dasar bagi strategi penelitian etologis hingga kini.

Bicara ekspresi, bila dikaitkan dengan sepakbola, ekspresi wajah adalah hal yang tidak dapat ditutupi oleh pemain. Seperti ekspresi kesakitan ketika terkena tekel keras, ekspresi potes terhadap wasit, sampai ekspresi gembira saat seorang pemain berhasil mencetak gol. Hingga akhirnya lahir budaya selebrasi gol.

Dalam catatan sejarahnya, budaya selebrasi gol pun berbeda-beda. Pemain-pemain asal Eropa cenderung lebih individualis saat selebrasi gol. Pemain Amerika Latin, Asia, atau Afrika merayakan selebrasi gol secara kolektif dan lebih ekspresif.

Paula M. Niedenthal, Profesor psikologi di University of Winconsin-Madison, serta Franois Ric, dan Silvia Krauth-Gruber dalam buku berjudul Psychology of Emotion: Interpersonal, Experiential, and Cognitive Approaches menulis bahwa ekspresi berkaitan dengan kultur, dari mana manusia itu berasal, akan berpengaruh terhadap ekspresi yang dihasilkan. Oleh karenanya, cara pemain sepakbola melakukan selebrasi gol pun berbeda berdasarkan kultur budaya asalnya.

Sebab itu, dalam setiap pertandingan sepakbola, apalagi dalam Piala Dunia, kita akan lebih banyak melihat selebrasi kolektif alias selebrasi gol yang dilakukan oleh banyak pemain dari berbagai negara. Termasuk selebrasi sampai melepas kaos sepak bola yang dikenakan pemain,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun