Orang-orang yang no work no pay, tetap wajib membayar pajak, BPJS dll. Orang-orang yang kinerjanya buruk, tetap mendapat gaji, tunjangan, dan THR. Siapakah orang-orang yang meraih kemenangan sejati di jalanNya?
(Supartono JW.Ramadhan18.09042023)
Memasuki hari ke-18 ibadah Ramadhan 1444 Hijriah, dua hari lagi sebelum fase 10 hari kedua berakhir, maghfirah/magfirah usai, fokus masyarakat kini sudah pada pemikiran dan rencana bagaimana merayakan Idul Fitri.
Mengingatkan atasanÂ
Terkait hal ini, Minggu pagi, 9 April 2023, seusai saur, sambil menunggu Salat Subuh, saya menjelajah media online, dan fokus mencari berita atau bacaan dengan kata kunci "Tunjangan Hari Raya (THR)", sebab jauh hari sebelum bulan Ramadhan tiba pun, pemberitaan THR dari pemerintah sudah meramaikan media massa di Indonesia.
Sambil menjelajah dunia maya tentang THR, saya juga selalu mengingat kisah tentang gaji dan tunjangan, yang di beberapa kesempatan, saya sampaikan ke atasan/pimpinan saya di kantor, saat itu. Juga saya sampaikan ke beberapa atasan, saat saya membantu mereka dalam menangani kinerja bawahannya, sesuai kapasitas pekerjaan saya saat ini.
Yang selalu saya ingatkan, khususnya saat para atasan ini melakukan penilaian kinerja bawahannya, tidak atas dasar like or dislike.
Sudah bukan rahasia bahwa kedudukan atasan baik di institusi/instansi/perusahaan formal atau informal (nonformal), seseorang yang dipilih/diangkat/ditunjuk menjadi atasan, ada yang bukan karena kapasitasnya, kompetensinya, profesionalismenya, kepribadiannya, sosialnya. Tetapi karena sesuatu dan lain hal.
Maka, dalam perjalanannya, akan selalu ada kisah tentang yang tidak amanah, Â selalu memberikan kesempatan untuk naik jabatan, mendapatkan proyek, mendapatkan pelatihan, dll ke orang yang itu-itu saja. Orang yang sama atau kelompok yang sama. Â Bawahan atau karyawan yang kemampuannya jauh lebih kompeten, justru tidak dipandang, dan hanya membela karyawan yang dekat dengan-nya meskipun tidak kompeten.dan sering berbuat salah, bekerja tidak sesuai TUPOKSI, tugas pokok dan fungsi unit kerja. Dan, nampak atasan melakukan tindakan tidak profesional, tindakan LIKE OR DISLIKE.
Nah, oleh sebab itu, pengingatan saya adalah JANGAN SAMPAI MEREKA TERBALIK dalam MEMBERIKAN NILAI PENILAIAN KINERJA, baik untuk KENAIKAN GAJI dan TUNJANGAN atau untuk KENAIKAN GOLONGAN. Terkait THR, maka seorang karyawan akan mendapatkan THR sesuai patokan gajinya.
Sikap like or dislike, kompetensi atasan yang tidak sesuai standar karena kursi jabatannya juga hasil dari tradisi like or dislake dan lainnya, sangat rentan membuat atasan tidak amanah, memberikan nilai kinerja yang karyawan yang tidak sesuai realitas kompetensi dan tupoksinya.Â
Karyawan hebat, tetapi nilai kinerjanya ternyata diberikan lebih rendah dari karyawan yang tidak kompeten dan profesional, dampaknya akan ada pada nilai gaji dan tunjangan. Karyawan hebat dizalimi, diperlakukan tidak adil, kejam. Karyawan tidak hebat diuntungkan.Â
Pertanyaannya, apakah gaji atau tunjangan yang didapat karyawan yang dizalimi berkah? InsyaAllah berkah. Bahkan, keberkahannya ikut dinikmati karyawan yang tidak hebat, karena haknya diberikan oleh atasan ke mereka.
Apakah gaji atau tunjangan sampai THR yang diterima karyawan tidak hebat berkah? Apalagi mengambil hak orang lain? Bisa dijawab sendiri oleh kita masing-masing.
Karena itu, dalam kehidupan nyata, saya, kita, tentu dapat melihat mana orang-orang yang tetap mendapat keberkahan dan mana yang hidupnya terus tidak berkah. Salah satunya karena ulah atasan yang tidak amanah. Dan, sikap dirinya yang juga tetap tidak bertobat.Malah mentradisi dan membudaya, kroni, dan disnasti. Luar biasa. Menikmati gaji, tinjangan, THR yang tidak sesuai kompetensi tupoksinya, atau karena dari hasil like or dislike atasan.
THR, sensitif?
Atas dasar kisah tersebut, bagi pihak yang memahami betul dunia kerja dan kinerja, maka bicara gaji, tunjangan, sampai THR, menjadi hal yang sensitif.
Banyak yang masyarakat yang seharusnya tidak layak mendapatkan gaji/tunjangan/THR karena kinerjanya buruk, tetapi tetap mendapatkannya, padahal khusuanya bagi karyawan yang bekerja untuk pemerintahan, gaji, tunjangan, dan THR mereka dibayar dari uang rakyat.
Karenanya saat lebaran masih jauh, Ramadhan belum dijalani, orang-orang yang beruntung atau diuntungkan, bekerja menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Pengawai Negeri Sipil (PNS), sudah mendapat informasi dari pemerintah menyoal THR Idul Fitri 1444 Hijriah. Padahal, uang untuk membayar THR adalah uang dari rakyat.
Perlu dipahami bahwa ASN mencakup semua pegawai pemerintah baik yang berstatus PNS ataupun PPPK. Sehingga bisa dikatakan bahwa seorang ASN belum tentu PNS, sebab bisa saja dia adalah PPPK. Sedangkan Semua PNS sudah pasti ASN.
Selama ini, masyarakat menjadi saksi, banyak ASN dan PNS yang kompetensi dan kinerjanya tidak sesuai dengan tugas yang diemban. Tetapi gaji, tunjangan, dan lainnya tidak pernah dipotong. Bisa terus naik jabatan, dapat gaji ke-13, dan setiap Idul Fitri, mendapatkan THR.
THR diberikan di Idul Fitri, sedangkan pencairan gaji ke-13 menjelang tahun ajaran baru. Umumnya, pembayaran gaji ke-13 ini pada Juli-Agustus. Dengan kata lain, gaji ke-13 adalah sebagai apresiasi negara terhadap kinerja PNS.
Bersyukurlah para ASN dan PNS, sebab negara memberikan apresiasi kepada Anda semua dengan melihat tupoksi. Bukan dari realitas kompetensi. Bahwa cara pembayaran THR tahun ini dengan teknik yang berbeda, itu hanya sekadar taktik dan teknik.
Pertanyaannya, apakah Anda-Anda merasa yakin mendapatkan gaji, tunjangan dll, hingga THR dan gaji ke-13, adalah halal, diperoleh dari cara kerja Anda sesuai Tupoksi? Pasalnya, cara kerja ASN dan PNS, di segala bidang, hingga saat ini masih menjadi keluhan masyarakat, karena tidak sesuai kompetensi dan kinerjanya sesuai tupoksi.Â
THR halal, tidak memandang agama
Hal ini berbeda dengan para pekerja formal swasta. Mereka mendapatkan gaji, tunjangan, dan lainnya hingga promosi jabatan, rata-rata benar-benar karena menjalankan tupoksinya berdasarkan kompetensi kinerjanya secara profesional.
Sehingga, bicara THR dan apresiasi bentuk lain dari perusahaan, yakin sebagai hasil yang halal. Didapatkan dengan cara bekerja dengan benar dan baik. Tidak memakai intrik, taktik nan licik.
Bagaimana dengan masyarakat yang bekerja di bidang informal. Bekerja serabutan? Apakah mendapat THR? Jawabnya, ada yang mendapat, ada yang tidak mendapat. Tergantung dari kemampuan dan kebijakan si pemilik usaha.
Lalu, bagi masyarakat yang tidak bekerja di bidang formal dan informal, apa mendapatkan tunjangan sampai THR? Jawabnya, jangankan THR, gaji pun tidak dapat. Bahkan bekerja pun belum tentu mendapatkan uang untuk di bawa pulang pada hari bersangkutan.
Catatan penting dan utama, masyarakat yang beruntung mendapat THR Idul Fitri, tidak memandang agamanya apa, sebab semua ASN, PNS, Â pekerja formal dan informal yang terakreditasi sebagai karyawan/pekerja, tentu mendapatkan hak THR sesuai petaturan dan UU yang berlaku.Â
Pertanyaannya, di bandingkan dengan yang mendapatkan THR sesuai angkatan kerja dan yang tidak mendapatkan THR di Indonesia, lebih banyak yang mana? Jawabnya, sudah pasti lebih banyak, bahkan berlipat-lipat masyarakat Indonesia yang tidak mendapat gaji, tentu THR pun tidak.
Tontonan getir, hedon, sultan
Jadi, dapat disimpulkan, betapa banyak masyarakat Indonesia yang masih belum menerima keadilan dan kesejahteraan, tetapi harus terus menjadi saksi dan melihat tontonan drama getir di Republik ini.
Orang-orang yang kinerjanya buruk, terus mendapat gaji, tunjangan, THR, gaji ke-13 dari uang rakyat, dari uang pajak, yang dibayarkan oleh semua masyarakat. Tidak pernah terdengar ada gaji ASN dan PNS yang dipotong karena kinerja buruk, meskipun tidak lulus tes kenaikan jabatan, atau tidak lulus uji kompetensi sesuai tupoksinya.
Lihatlah, masyarakat yang bekerja di sektor informal dan serabutan, tetapi tetap memiliki kewajiban yang sama membayar pajak, iuran BPJS, dll, sampai sekadar iuran Rukun Tetangga (RT). Dan, uang pajak itu, digunakan untuk menggaji, membayar tunjangan, sampai THR bagi orang-orang yang tidak layak mendapatkannya. Tetapi sebagian besar dari mereka, pun tidak pernah nampak tahu diri dan malu.
Masyarakat pekerja informal dan serabutan pun, tetap harus menjadi penonton bagi drama hedon masyarakat yang terus disajikan dalam tayangan televisi dan pemberitaan media massa, dan media sosial (medsos).
Terus menjadi saksi dari mudahnya para elite di negeri ini, bagi-bagi kursi dan rezeki dari uang rakyat untuk diri dan keluarganya, dinastinya, partainya, oligarkinya.
Bila di negeri ini, gagalnya Piala Dunia U-20 karena penolakan sesuai konstitusi, Pembukaan UUD 1945, mengapa sesuai sila dalam Pancasila, gaji, tunjangan, THR, dan gaji ke-13 tidak pernah dibatalkan untuk yang tidak layak mendapatkannya? Kasihan rakyat yang harus mencari uang dengan susah, tetapi pajaknya untuk membayar rakyat yang kinerjanya tidak sesuai, termasuk untuk menggaji, membayar tunjangan, hingga THR wakil rakyat di parlemen dan pemerintahan yang kinerjanya jauh dari tupoksi.
Di mana ke-5 bunyi Pancasila itu diaplikasikan untuk rakyat Indonesia seutuhnya? Rakyat tetap menerima ketidakadilan, tetap terjajah, dan menderita di negaranya sendiri.
Arti kemenangan
Khususnya bagi umat muslim, betapa berartinya Idul Fitri. Sebagai hari KEMENANGAN, sebagian besar masyarakat tetap bersyukur, sebab kemenangan bagi mereka adalah dalam hal ibadah. Mencari keberkahan dan ampunan dosa, serta menghindarkan diri dari api neraka dengan selalu mencari dan berbuat sesuai hidayah Allah.
Hubungannya dengan Allah. Bukan semata kemenangan duniawi, termasuk mendapat gaji, tunjangan, dan THR.
Arti kemenangan itu sendiri selama ini adalah kembali kepada fitrah, suci. Yaitu ketika manusia bersih dari segala dosanya karena telah melaksanakan puasa Ramadhan sebulan penuh.Â
Dari berbagai literasi, kemenangan juga dimaksud sebagai:
Pertama, kemenangan spiritual. Menurutnya inilah kemenangan jiwa yang bersih dari syirik, hasud dan dengki, dan kesombongan. Setelah Ramadan berakhir yang membatasi segala fungsi biologis, kesucian spiritual harus tetap dirawat.
Dalam QS. Al-Syams 9-10 disebutkan bahwa "Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya."
Kedua, kemenangan emosional. Artinya keberhasilan mengontrol emosi. Kemampuan mengontrol emosi berarti mengedepankan sikap kesabaran. Sabar, bukan simbol kelemahan melainkan satu kekuatan yang harus dipertahankan.
Dalam Hadits Abu Hurairah dengan derajat Muttafaq 'alaih bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Orang kuat bukanlah orang yang sering menang berkelahi, akan tetapi orang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan hawa nafsunya ketika marah."
Ketiga, kemenangan intelektual. Kemenangan ini ditandai dengan melahirkan sosok muslim yang mampu membaca situasi dan kondisi. Manusia yang cerdas adalah orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling baik dalam mempersiapkan bekal untuk menghadapi kehidupan setelah kematian. Kecerdasan intelektual dalam Islam adalah mampu membedakan mana yang hak dan mana yang batil, mampu mempertimbangkan mana yang manfaat dan mana mudarat, dan mengerti pula mana yang wajib dan mana yang bukan.
Terkait kemenangan, fitrah ini, bagi masyarakat yang hidup merantau atau terpisah dari keluarga atau sudah menetap di daerah lain, meski yang dipikirkan adalah bagaimana mereka bisa mudik lebaran agar dapat berkumpul bersama keluarga dan sanak saudara di kampung halamannya. Terlebih, bila di kampung masih ada orangtua. Ini menjadi alasan pasti bagi masyarakat bahwa mudik adalah wajib hukumnya. Bagaimana pun caranya. Itu pun di antara satu dari arti KEMENANGAN.
Nah, bicara bagaimana pun caranya inilah yang juga tidak dapat dilawan secara manusiawi oleh masyarakat kita. Pasalnya, meski mudik bagi masyarakat dengan identifikasi yang saya sebutkan tersebut adalah hal wajib, tetapi bagaimana mau mudik, bila mereka tidak memiliki uang untuk sekadar membayar tiket transportasi mudik dan balik?
Namun, sesuai makna kemenangan, bahwa realitasnya tidak dapat mudik karena tidak ada biaya atau ongkos, merayakan Idul Fitri jauh dari keluarga dan sanak saudara, tetap akan mendapat kemenangan. Terlebih kini sudah hadir medos yang dapat mendekatkan seseorang dengan keluarga, sanak saudara, famili, kerabat, dll.Â
Jadi masyarakat yang menang dalam spiritual, emosional, dan intelektual, persoalan mudik, gaji, tunjangan, hingga THR, bukan hal yang harus dipermasalahkan. Tetap bersyukur masih diberikan umur dan dapat menjalankan ibadah Ramadhan sesuai tuntunan.
Tidak seperti masyarakat yang memiliki uang atau "kaya harta", jangankan bicara mudik lebaran. Mereka bahkan memanfaatkan momentum lebaran untuk liburan di hotel (staycation), wisata di dalam negeri atau manca negara. Dan itu, sebagian arti kemenangan menurut mereka.
Bersyukurlah bagi orang-orang yang masih bekerja tetap, formal mau pun informal. Yang masih mendapat gaji, tunjangan, sampai THR.
Bersyukurlah bagi yang merasa gaji, tunjangan, dan THR didapatkan dengan cara halal. Lalu, dapat berbagi serta mendermakan sebagiannya untuk orang yang membutuhkan, orang-orang yang tidak seberuntung kalian.
Bagi yang merasa tidak halal, masih ada dua hari fase maghfirah/magfirah di Ramadhan kali ini untuk memohon ampunan.
Selalu ingat dan catat, ada ungkapan "no work no pay". Tidak ada pekerjaan, tidak ada gaji. Tidak kerja, tidak ada uang.
Bagi mereka, jangankan bicara gaji, tunjangan,THR, untuk kebutuhan sehari-hari saja, susah. sebab memang no work no pay. Tetapi mereka tetap rakyat yang wajib membayar pajak dan iuran BPJS.Â
Semoga, saya, kita senantiasa masuk dalam kategori orang-orang yang amanah. Mendapat rezeki, gaji, tunjangan, sampai THR memang sesuai kapasitas saya dalam pekerjaan. Menjadi orang-orang yang meraih kemenangan sesungguhnya di JalanNya. Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H