Kendati kebijakannya langsung membuat gaduh di seantero +62. Juga melangkahi Kemendikbudristek. Bahkan hingga saya menulis artikel ini, Mas Menteri Nadiem juga belum nampak bersikap atas kegaduhan ini. Saya menyebut Gubernur NTT adalah sosok yang pemberani.
Terkait pemberani ini, saya juga setuju dengan Menteri Koordinator Kesra Muhajir Effendy yang dirilis oleh berbagai media massa, menyebut bahwa ide itu bagus, sebagai bagian dari revolusi mental. Tetapi saya tidak setuju dengan pernyataan Muhajir yang mengatakan agar pendidikan di NTT tidak terjebak di zona nyaman dalam ketidakmajuan. Sebab, menyangkut zona nyaman ini, tentunya untuk seluruh Indonesia.
Pasalnya, pendidikan Indonesia terus terpuruk dan tercecer dari negara Asia Tenggara, Asia, dan Dunia, khususnya dalam literasi, matematika, dan sains, di antara satu sebabnya adalah cara mendidik yang terus berkubang di zona nyaman. Meski kini, ada Kurikulum Merdeka, tetap saja, keluhan tentang dunia pendidikan terus mengepulkan polusi masalah. Apakah Kurikulum Merdeka, dalam praktiknya sesuai dengan harapan lahirnya Kurikulum Merdeka? Apakah peserta didik dan guru benar-benar merdeka dibuatnya? Atau malah terbelenggu. Jawabnya, para guru dan peserta didik, serta orangtua di seluruh Indonesia, tentu dapat jujur atas implementasi dan aplikasi Kurikulum Merdeka ini.
Acung jempol
Membuat kebijakan, sekolah masuk pukul 05.00 adalah kebijakan yang tidak populer. Karenanya saya mengapresisi keberaniannya. Atas keberanian membuat kebijakan, saya dapat mengkategorikan yang bersangkutan memiliki jiwa dan karakter revolusioner dan visioner. Revolusioner adalah orang yang cenderung menghendaki perubahan secara menyeluruh dan mendasar. Sementara visioner adalah orang yang memiliki pandangan atau wawasan ke masa depan. Bergayung sambut dengan nawa cita-revolusi mental yang sempat digaungkan di negeri ini oleh siapa? Tetapi dalam praktiknya, nawa cita dan revolusi mental itu, sampai di mana, ya? Lenyap?
Terlepas kebijakan ini langsung menuai banjir kontroversi, latar belakang dan  tujuan dari kebijakan ini, seperti sudah diungkap di berbagai media massa, juga tidak salah dan tidak buruk alias benar dan baik. Ada nilai-nilai kecerdasan intelegensi dan personality yang kreatif dan inovatif di dalamnya. Jadi, saya acungkan jempol kepada Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) periode 2018--2023,Viktor Bungtilu Laiskodat, S.H. M.Si. yang telah berani mencetuskan ide sekaligus mempraktikkan kebijakan yang bisa jadi memang tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh pihak terkait atau para Gubernur di provinsi lain di Indonesia.
Sekali lagi, saya acungkan bahkan dua jempol untuk Viktor, karena berani membuat kebijakan yang bukan saja kreatif, inovatif, dan ke luar dari kewajaran serta zona nyaman, tidak populer, mungkin dianggap tidak lazim, pun tegas dengan dan berani mempraktikkan di lapangan. Di tengah etos belajar anak-anak Indonesia dan para gurunya juga berkubang dalam tradisi monoton, walau pun berbagai menteri baru selalu membuat baju Kurikulum Pendidikan yang katanya menyesuaikan zaman dan demi mengejar ketertinggalan pendidikan Indonesia dari negara-negara lain.
Bila dibandingkan
Atas kebijakan yang dibuat, berbagai pihak pun bersuara, beropini, memprotes, membandingkan dan lainnya. Pokoknya berbagai judul berita dan artikel yang mengulas dan menanggapi kebijakan ini banjir. Seperti pengaruh sekolah pukul 05.00 terhadap psikologis, mental, dan kesehatan peserta didik. Juga rawan kecelakaan dan lain sebagainya.
Banyak yang membandingkan kebijakan ini dengan sekolah di Finlandia yang merupakan negara dengan pendidikan terbaik di dunia. Jam masuknya sekolahnya sekitar pukul 08.15 dan pulang sekitar pukul 14.25 siang. Lalu, dibandingkan pula dengan sekolah di Singapura, masuk pukul 07.30, pulang pukul 15.00. Sekolah di Swedia, pukul 08.00-15.00. Dan sekolah di Jerman, Inggris, Belanda, Prancis, Jepang, Amerika Serikat, Korea Selatan, Kanada, Rusia, dan lainnya, yang rata-rata masuk pukul 08.00 juga.
Dari sikap membandingkan itu, saya yang lebih dari 35 tahun menjadi praktisi pendidikan di Indonesia, dan tahu persis akar masalah benang kusut mengapa pendidikan terus tercecer, ternyata hingga Gubernur NTT merealisasikan ide tak populernya, masuk sekolah pukul 05.00, belum pernah ada menteri pendidikan yang berani mengubah jam belajar di sekolah Indonesia mulai pukul 08.00.
Seharusnya, bila mau meneladani negara-negara maju dalam hal pendidikan yang saya sebutkan, sekolah di Indonesia bukan hanya memulai jam sekolah pukul 08.00, tetapi juga meneladani Kurikulum Pendidikan di negara-negara maju tersebut, bukan malah mengganti-ganti baju Kurikulum Pendidikan, sementara gurunya saja masih berkutat pada masalah klasik yang tak pernah sembuh masalahnya. Guru terus menjadi momok yang membuat pendidikan Indonesia terus tertinggal. Karena faktanya, yang menjadi guru terus berkutat pada masalah sekadar layak, miskin profesionalisme, miskin kompetensi.
Akibatnya, dunia pendidikan di Indonesia hanya dipenuhi sekolah-sekolah yang gurunya sekadar mengajar, tidak mendidik. Sibuk menyelesaikan materi. Apalagi kini dengan Kurikulum Merdeka, yang secara adminitrasi juga hal yang bukan main membebani. Sulit terbentuk peserta didik yang berkarakter pelajar Pancasila. Buktinya, tawuran pelajar dan geng yang meresahkan terus didominasi oleh anak-anak usia produktif yang seharusnya tertanam dengan kuat etos menjadi pelajar dan generasi muda Indonesia yang berjiwa Pancasila.
Bila di negara yang pendidikannya maju, sekolah malah santai dan masuknya di atas pukul 07.30 dan pulang juga lebih awal dari sekolah di Indonesia, tolong jangan dilihat dari kaca mata kuda atau kaca mata telanjang. Manusia di negara-negara maju tersebut, sudah maju dalam peradaban dan gen karakternya sudah tertancap kuat, sehingga tidak terdengar keluhan tentang pendidikan yang tertinggal karena ujung tombaknya, guru disiapkan dan diseleksi sesuai pendidikan, standar profesi dan kompetensi. Meski pun sekolah nampak santai, masuknya pukul 07.30 atau 08.00, apakah para peserta didik tidak bangun pagi?
Memang, ada yang mengungkapkan bahwa ada puluhan studi tentang jam ideal masuk sekolah di pagi hari. Bahkan studi oleh para peneliti Harvard, universitas paling prestisius menunjukkan makin siang jam masuk sekolah bisa jadi justru makin baik untuk kualitas belajar-mengajar anak. Riset global pun mengatakan bahwa jam ideal sekolah dimulai setidaknya pukul 08.00 pagi. Pertanyaannya, dari menteri ke menteri, mengapa mayoritas sekolah di Indonesia masih mewajibkan jam belajar dimulai dari pukul 07.00, bahkan 06.30. Bukan pukul 08.00. Bahkan di Indonesia juga ada sekolah pagi dan sekolah petang.
Bila selama puluhan tahun, memulai jam belajar selalu lebih pagi dari negara-negara yang pendidikannya lebih maju, dan pendidikan Indonesia terus tercecer, padahal jam sekolah dimulai lebih pagi, berarti kebijakan Gubernur NTT tidak salah, dong? Mengapa di persoalkan? Apa bedanya masuk sekolah pukul 05.00 atau 06.00 atau 06.30 atau 07.00? Semua tetap masih terlalu kepagian, bukan?
Jadi, bila mau mempersoalkan kebijakan Gubernur NTT, maka sebaiknya semua jam masuk sekolah di Indonesia dipersoalkan. Ubah semuanya, masuk mulai pukul 08.00 dan pulang pung pukul 12.00 WIB. Bagaimana mas Nadiem. Saya acung jempol untuk Gubernur NTT yang berani ke luar dari zona nyaman lho, meski memaksakan dan mengabaikan studi ilmiah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H