--------------------------------------
Tegas menggurui, Tegas mendidik, Tidak permisif untuk kesalahan dan keburukan, demi kebenaran dan kebaikan, adalah di antara titik-titik keteladanan Mas Nano Riantiarno yang saya serap dan aplikasikan dalam kehidupan nyata.
--------------------------------------
Membiarkan kesalahan dan keburukan, adalah perbuatan salah dan buruk. Katakan yang salah, salah. Yang buruk, buruk. Itu baru perbuatan benar dan baik.
(Supartono JW.12022023)
Manusia makhluk sempurna, tempat salah dan dosa. Maka, jangan takut sengaja membagi dan menggurui tentang sesuatu yang benar dan baik kepada sesama manusia dengan berani dan tegas untuk kemaslahatan umat dan dunia.
(Supartono JW.12022023)
Jangan menjadi guru bila hanya mengajar, tidak menggurui=mendidik!
(Supartono JW.12022023)
Mengapa dalam bidang pendidikan, secara umum, Indonesia terus tercecer, terbelakang dari negara lain? Jangankan dapat bersaing di tingkat dunia, di Asia Tenggara saja masih tercecer, terutama dalam hal literasi, matematika, dan sains.
Imbasnya, tingkat kreativitas dan inovasi pun terus menjadi barang mahal atau barang langka di negeri ini.
Lihatlah, dalam beberapa hari ini, ada pihak yang mempersoalkan dan mempertanyakan keberadaan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Saya juga, mempertanyakan apa manfaatnya BRIN bagi rakyat Indonesia, terutama yang ada signifikasinya dengan hajat hidup rakyat khususnya menyangkut kesejahteraan dan keadilan. Sebab, rakyat masih banyak yang miskin hati, pikiran, dan harta.Â
Sesuai singkatannya, mana hasil riset dan inovasinya agar rakyat Indonesia terhindar dari pendidikan yang terus tercecer, bangkit dari penderitaan, dan merasakan keadilan karena hukum hanya tajam ke bawah. Membenarkan yang salah, menyalahkan yang benar.
Mengapa, yang hiruk-pikuk, hilir-mudik, berseliweran didominasi pertunjukkan politik (kotor, licik), oligargki, dinasti, hedonisme, dan sejenisnya. Takut kehilangan yang bukan milik, takut kehilangan kekuasaan, jabatan, harta, dan lainnya, seperti hidup di dunia akan kekal!
Paradigma guru
Apa yang terus terjadi di Indonesia sejak Merdeka, lepas dari penjajahan kolonialisme, hingga kini, Indonesia justru terus dicengkeram oleh penjajah dari anak negeri sendiri dengan berbagai dalih
Anak dari negeri sendiri ini, kini terus estafet menjajah Indonesia dengan berbagai dalih dan skenario. Sepertinya, mereka, saat sekolah dan kuliah gagal dididik oleh para guru, dosen. Pun oleh para orangtua, masyarakat, dan pengalaman hidupnya. Hingga terbentuk pribadi-pribadi yang berkarakter buruk. Memaksakan diri meraih impian di jalan yang salah dan membenarkan diri.
Lebih dari itu, selama puluhan tahun, dunia pendidikan Indonesia juga salah paradigma. Guru/dosen bukan mendidik, tetapi hanya sebatas mengajar menyampaikan ilmu, pelajaran.
Apakah Kurikulum Merdeka, juga membuat peserta didik dan guru jadi merdeka belajar? Faktanya, peserta didik, kini waktunya justru banyak terbelenggu di sekolah, tidak merdeka belajar. Apakah gurunya juga merdeka? Merdeka mengajar/mendidik? Para guru/dosen di seluruh Indonesia, tentu dapat memberikan jawaban yang obyektif, menyangkut Kurikulum Merdeka, ini.
Selama ini, berapa persen jumlah guru/dosen di seluruh Indonesia yang dalam bekerjanya, masih dalam taraf mengajar, belum sampai taraf mendidik? Apakah Menteri Pendidikan tahu?
Lihatlah, setiap saat kita dapat menyaksikan tawuran pelajar. Ada geng motor, ada pencurian, perampokan, ada pembegalan, pembunuhan, dll, yang dilakukan oleh rakyat jelata sampai elite. Sementara khusus di level elite, selalu ada korupsi, oligarki, dinasti, dengan praktik-praktik politik (kotor, licik).
Inilah peta manusia Indonesia. Adakah keseimbangan pendidikan di sekolah/kampus/tempat ibadah kepada manusia Indonesia hingga menjadi manusia yang cerdas, berkarakter, kaya pikiran, kaya hati, sesuai norma, etika, tata krama, hukum (manusia dan Tuhan)?
Apakah selama ini, ada pendidikan bagaimana cara mendidik untuk para calon guru, dosen, penceramah, pengkhotbah di Indonesia? Sepertinya belum ada, ya? Halo, BRIN?
Berapa persen guru/dosen di Indonesia yang yakin dalam pekerjaannya benar-benar mengajarkan ilmu dan pelajaran dengan pondasi mendidik? Memaknai setiap ilmu yang diajarkan sesuai bidangnya dengan fakta-fakta dalam kehidupan nyata. Menganalogikan dalam kehidupan nyata, hingga peserta didik/mahasiswa dapat mengaplikasikan ilmu di kehidupan nyata sesuai didikan. Sampai profilnya bisa disebut pelajar/mahasiswa/rakyat/elite Pancasila.
Bagaimana mau berharap para pelajar/mahasiswa sampai dititik profil pelajar/mahasiswa Pancasila? Kemudian ketila lulus kemudian menjadi masyarakat yang bekerja di berbagai bidang, di parlemen, di pemerintahan sesuai profil Pancasila, para guru, dosen, orangtua, masyarakat, para pemimpin dll, masih fasih melafalkan kata-kata "bukan bermaksud menggurui", bila bermaksud mengingatkan orang lain yang berbuat salah dan buruk. Masih ada ewuh-pekewuh.
Tidak cukup memiliki kepercayaan diri, untuk mengatakan bahwa yang salah, ya salah. Yang buruk, ya buruk.Â
Akibatnya, Indonesia menjadi polusi permisif berkepanjangan. Banyak persoalan dibiarkan terbuka, melebar. Banyak pihak yang seharusnya tegas dan disiplin taat aturan dan hukum, hanya memberlakukannya untuk pihak lain.Â
Banyak guru/dosen yang  membolehkan dan suka mengizinkan peserta didik/mahasiswa tetap mengikuti kelas pelajaran meskipun melanggar aturan. Dll, polusi permisif lainnya.
Mulai dari diri sendiri
Selama puluhan tahun aktif sebagai praktisi hingga pengamat pendidikan, saya belum pernah mengawali atau mengakhiri dalam menulis atau berbicara tentang sesuatu yang benar dan baik dari berbagai sudut pandang, baik dari segi agama, ilmu pengetahuan, mau pun humaniora, dengan kalimat: "bukan bermaksud menggurui".
Dibanding makhluk lain di bumi, manusia adalah makhluk paling sempurna. Pun tempat salah dan dosa. Untuk itu, demi kemaslahatan umat, jadilah manusia yang berani menggurui agar yang berbuat tidak benar dan buruk, jadi paham dan berbuat benar dan baik untuk dirinya, keluarga dan kerabatnya, masyarakat, hingga untuk bangsa, negara, dan agamanya, dalam berbagai segi kehidupan. Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H